TIGA ENAM

11 6 0
                                    

Selamat membaca💅💓

***

Usai perdebatan kecil tadi di koridor, Dewa langsung membawa Acha menuju taman belakang fakultas, yang biasanya di pakai untuk mengerjakan tugas, atau sekedar bersantai. Keduanya duduk bersampingan di bangku kayu dengan meja bundar di hadapan mereka.

"Kenapa ke sini? Kan bentar lagi masuk?" tanya Acha pada pacarnya itu.

"Nggak baca grub, Cha? Dosennya lagi ada kesibukan, minta jam pengganti di hari lain," jawab Dewa.

"Oh gitu ya. Gue emang belum buka hp sih dari tadi," kata Acha. Gadis itu pun lalu mengambil ponselnya di saku celana. Mengecek pesan grub, dan benar saja dosennya memang minta waktu pengganti.

"Udah makan, Cha?" tanya Dewa.

"Udah," jawab Acha.

"Kalau Lo?"

"Belum."

"Kenapa? Ayo makan dulu, gue temenin," kata Acha.

Dewa tersenyum. "Mau makan di mana?" tanya Dewa.

"Kok tanya gue? Kan yang mau makan itu Lo, pilih aja sendiri tempat nya di mana?"

"Gue nggak suka makan di kantin kampus," jawab Dewa jujur.

"Kenapa?" Acha memiringkan sedikit kepalanya menatap pacarnya.

"Nggak suka aja. Lebih suka kamu soalnya."

Acha mencubit pelan lengan Dewa yang ada di dekatnya. "Gue serius padahal."

"Lo pikir gue bercanda suka sama lo?" tanya Dewa, wajahnya ia ubah seserius mungkin.

"Iya, Dewa. Lo suka sama gue. Gue juga suka sama lo," balas Acha sungguh-sungguh. Netra indah itu saling berpandangan satu sama lain, seolah ada yang sedang mereka utarakan lewat tatapan itu.

"Udah suka juga sama gue, Cha?" tanya Dewa pelan.

Acha mengangguk yakin. "Sorry baru terasa sekarang. Tapi gue juga suka, gue sayang sama lo. Makasih banget, semua perhatian dan sikap Lo, bener-bener gue merasa kalau gue juga berhak untuk di sayang seperti itu."

Dewa tersenyum simpul. Di raihnya tangan Acha lalu di genggam dengan erat. "Gue sayang sama lo," ucap Dewa begitu dalam. Sungguh, selama berpacaran dengan Dewa, Acha merasa ucapan sayang itu sudah ratusan kali Dewa ucapkan. Tak lupa Dewa selalu memuji Acha bahkan mengatakan kalau ia beruntung memiliki Acha.

"Gue juga," balas Acha.

"Temenin gue makan di luar kampus, mau?" tanya Dewa.

Acha mengangguk. "Ayo!"

Dewa pun berdiri di ikuti dengan Acha, genggaman tangan mereka belum juga terlepas. Malah Dewa semakin mengeratkan genggamannya saat melewati banyak mahasiswa lain termasuk senior yang sedang menatap marah ke arahnya. Dewa tidak perduli, baginya selama aturan itu sudah tidak ada lagi, senior manapun tidak berhak melarangnya.

"Dewa, Lo nggak takut?" tanya Acha dengan pelan.

"Gue cuman takut lo di suka sama mahasiswa lain," jawab Dewa langsung.

"Mana ada yang suka gue? Lo aja satu-satunya yang suka gue di kampus ini," ujar Acha.

"Nggak nyadar? Yang suka lo itu banyak. Di kalangan senior lebih banyak lagi," jelas Dewa.

Acha sedikit terkejut mendengar itu. "Masa iya sih?"

"Iya, Lo emang banyak yang suka. Salah satunya Ray."

Acha menghentikan langkahnya. Padahal mereka tinggal beberapa langkah lagi akan sampai di mobil Dewa yang terparkir rapih di sana.

"Ray itu siapa? Yang mana orangnya? Gue selalu dengar namanya, tapi wujudnya nggak pernah nampak," ujar Acha. Ia menatap Dewa yang lebih tinggi darinya, sehingga ia harus sedikit mendongak.

Fear Of Failing AgainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang