"Guys, pengumuman rangking paralel udah ditempel!"
Tepat setelah pembagian rapor semester satu kelas sebelas, peringkat paralel akhirnya dipasang. Banyak yang membicarakannya, banyak juga yang tidak begitu peduli. Peringkat paralel selalu menjadi ajang menentukan siapa yang terhebat. Entah dengan alasan apa yang Fuchsia tidak tahu, anak IPA dan anak IPS tidak pernah akur. Apalagi, sudah berturut-turut, anak IPA selalu menyabet peringkat pertama paralel.
Fuchsia sih, hanya mencintai akting saja. Baginya, sekolah adalah tempat bersenang-senang.
"Udah ditempel tuh," celetuk Mint saat melepas permen lolipop dari mulutnya.
Mata perempuan itu mengamati keramaian di depan ruang guru, di mana kerumunan siswa sedang melihat pengumuman peringkat.
"Ke sana yuk, Sya."
"Bentar," Fuchsia mengerutkan alis, mengamati naskah di hadapannya lamat-lamat. "Gue rasa ini alurnya ngadi-ngadi, deh, Mint. Masa baru kenal udah langsung deket?!"
"Sya," peringat Mint malas. "Please, deh."
"Serius ini kalo gue jadi penulis skenarionya, udah gue–"
"ANJIR, SYA! MINT! Sejak kapan lo berdua belajar?!" teriak Lilac yang tiba-tiba muncul di depan mereka.
Teriakan Lilac barusan memutus obrolan mereka berdua. Baik Mint maupun Fuchsia menoleh.
"Belajar apaan, sih?" sahut Fuchsia sewot. "Daripada itu, Guys, mending liat dulu deh ini naskah. Nggak bener bang–"
"MAKANYA, SINI LIAT MADING!!!" Lilac kembali berteriak tak sabaran.
Tahu-tahu saja, Lilac sudah menyeret keduanya ke depan mading. Dari jauh, Fuchsia bisa mendengar suara sahut-sahutan ramai, tumpang tindih, dan sepertinya panas.
"Semester ini anak IPS dapet rangking paralel lebih banyak dari anak IPA. Kayaknya, semester depan bisa nih kita geser anak IPA yang paling sok pinter."
Serius? Setelah satu tahun ini didominasi anak IPA?
"Fuchsia? Peringkat empat, loh. Gue bener-bener nggak nyangka?"
Lah, kok gue?
"Ada Mint juga. Apa ini tandanya kita bakal seambis anak IPA?"
Aduh. Jangan sampe, deh–wait, Mint? Mint juga?
Begitu Fuchsia sampai di kerumunan, perempuan itu hanya butuh berdeham. Kerumunan orang menoleh serentak dan memberinya jalan. Bukan karena Fuchsia sok berkuasa, tetapi tidak ada namanya Fuchsia melihat papan pengumuman peringkat.
Ini kali pertama.
"Tapi, dua rangking pararel teratas semester ini, masih anak IPA. Dan kita emang pinter, bukan sok pinter. Karena, pada akhirnya kuantitas tetap kalah dengan kualitas."
Alis Fuchsia mengerut. Ia tahu jelas siapa pemilik suara itu, serta bagaimana angkuhnya ia berdiri di depan mading. Ivory. Sepupunya. Kalau yang bersangkutan masih ingin menganggap Fuchsia sebagai sepupunya, sih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fuchsia
Teen FictionFuchsia cinta akting, tidak cinta yang lain, sampai Fuchsia mengenal Aatreya, anak IPA pendiam yang diam-diam jago nyanyi. Fuchsia yakin Aatreya akan menjadi lawan main yang baik! Terutama, Aatreya adalah tiket utamanya menyabet Piala Citra yang s...