Aatreya melebarkan mata dengan lengan sigap menjadi tumpuan ketika Fuchsia meluruh ke tanah. Perempuan berambut panjang bergelombang itu memucat, dengan tatapan kosong yang kentara. Jasmine, yang baru saja mengungkapkan alasannya memaksa Fuchsia pulang, mengesah pelan dan ikut berjongkok.
Kedua lengan Jasmine merengkuh Fuchsia seraya berkata, "Semuanya bakal baik-baik aja, Sya ...."
Tapi Fuchsia yang biasanya terlihat kuat itu, kini merapuh. Aatreya tahu kalimat penghiburan tidak akan mempan pada Fuchsia.
"Ayo, berdiri," sahut Aatreya lembut dengan kedua lengan kini sudah mengangkat Fuchsia, lalu jadi penopangnya ketika kaki Fuchsia sendiri masih lemas.
Sebenarnya, kenapa bisa, setelah bertahun-tahun lamanya tidak ada yang tahu, fakta bahwa Fuchsia anak Maya bisa terbongkar? Banyak sekali pertanyaan yang merangsek masuk di kepala Aatreya, tapi laki-laki itu mengesampingkan hal tersebut dan fokus membawa Fuchsia pulang.
Fuchsia memegang erat lengan Aatreya, matanya memejam untuk waktu yang lama, sebelum ia melirih. "Ayo duduk di sana. Nunggu Kak Ray dateng."
Aatreya dan Jasmine saling tatap, tapi menurut juga, duduk di pelataran taman. Tidak ada yang bicara lagi, seperti mengizinkan Fuchsia untuk larut dalam pikirannya yang kalut. Beberapa menit berjalan dengan keramaian di luar–sebentar lagi bel masuk berbunyi. Sampai akhirnya, terdengar derap langkah kaki dan deru napas memburu.
Sano.
Laki-laki itu tampak berkeringat dengan dada naik turun. Begitu melihat Fuchsia duduk tenang, bahunya yang naik dengan tegang, lantas menurun penuh kelegaan sebelum Sano berjalan ke arah Fuchsia dan memeluknya erat.
"Maaf, Sya ... ini semua salah gue ...," lirih Sano.
Fuchsia langsung mendorong Sano begitu saja. "Maksud lo?" tanyanya dengan sorot mata tajam.
Sano tersentak. Fuchsia tak pernah bersikap seperti itu padanya. Namun, ini semua memang salahnya. Sano meneguk ludah dan berusaha menguasai dirinya.
"Beberapa hari lalu, gue ke rumah lo buat ngasih mainan ke Sisi. Rembulani ikut ... dan ... gue rasa dia ngambil gambar pigura lo yang di sana," jelas Sano. "Gue nggak nyangka dia bisa berbuat sejauh ini."
"Lo yakin?" tanya Fuchsia lagi, kini ekspresinya mengeras.
"Arah piguranya awalnya ke kanan, selalu ke kanan. Tapi waktu itu, waktu Rembulani dateng ke rumah lo dan berdiri di lemari kaca, arahnya ke kiri."
"Kenapa lo nggak nyegah dia? Kenapa lo nggak ngambil hapenya dan ngecek isinya? Kenapa lo ngajak dia pulang bareng lo?" tanya Fuchsia beruntun, dan semakin Fuchsia menyudutkan Sano, semakin wajah laki-laki itu memias, membuat Aatreya langsung menghalau Fuchsia dari Sano.
"No, sekarang bukan waktu yang tepat," bisik Aatreya pelan.
Sano terduduk di tanah, memandang tak percaya Fuchsia yang tampak berbeda dari biasanya. Aatreya sebenarnya ... heran. Karena Sano lebih lama mengenali Fuchsia, pasti tahu sisi gelap perempuan itu, kan? Karena waktu Aatreya menemui Fuchsia di lorong rumah sakit empat bulan lalu, aura perempuan itu sama seperti sekarang.
Hanya saja ... sekarang lebih gelap.
Sano mengerjap, berusaha berdiri dan akhirnya mengucapkan maaf sekali lagi, sebelum berbalik pergi.
Atau mungkin ... Sano belum tahu sisi Fuchsia yang seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fuchsia
Teen FictionFuchsia cinta akting, tidak cinta yang lain, sampai Fuchsia mengenal Aatreya, anak IPA pendiam yang diam-diam jago nyanyi. Fuchsia yakin Aatreya akan menjadi lawan main yang baik! Terutama, Aatreya adalah tiket utamanya menyabet Piala Citra yang s...