Di minggu hiatusnya, sebuah kelangkaan bagi Fuchsia sudah berada di rumah jam 9 malam. Tentu saja, kelangkaan itu dimanfaatkan sebaik mungkin oleh adiknya, Priscilla, atau sering disebut, Sisi.
"Kak! Ayo ceritain dongeng," Sisi menyeret tangan Fuchsia menuju kamarnya yang serba warna kuning dan biru, padahal Fuchsia baru saja pulang dari Six in Sundays.
Fuchsia tentu tidak menolak. Alih-alih Sisi menyeretnya, Fuchsia langsung menggendong adik perempuannya itu.
"Sya, kamu nanti kecapean, loh," Bunda yang tadi membukakan pintu untuk Fuchsia, mengingatkan anaknya dari belakang.
"Sisi nggak berat, kok, Bun," Fuchsia menengok ke arah Bunda dengan senyum lebar sebelum beralih pada adiknya. "Sisi mau dibacain dongeng apa?"
"Cinderella! Cinderella!"
Kisah klasik tentang seorang anak yang tinggal bersama ibu dan saudara tirinya.
Fuchsia menaruh Sisi ke tempat tidur, menutupi badan Sisi hingga dagu dengan selimut hangat. Setelah itu, Fuchsia berbaring di sebelah adiknya.
Seolah sudah direncanakan sejak lama, Sisi mengacungkan buku dongeng ke hadapan sang kakak. Fuchsia tertawa. Sementara itu, Bunda melihat kedekatan dua anaknya seraya bersandar di ambang pintu. Senyum Bunda terlukis.
Sisi paling suka mendengar kakaknya bercerita. Sudah seperti pendongeng handal. Sisi bahkan menitikkan air mata ketika membayangkan betapa menderitanya Cinderella karena perlakuan ibu tiri.
"Sisi nggak suka ibu tiri!" teriak Sisi kencang penuh emosi.
Senyum Bunda memudar.
Fuchsia mengalihkan pandangan dari buku dongeng bergambar di tangannya. "Kok gitu?"
"Ibu tiri jahat! Sisi nggak suka! Temen Sisi punya ibu tiri, dan ibu tirinya jahat sama temen Sisi. Kayak ibu tiri Cinderella."
Fuchsia menutup buku dongeng, lalu menarik Sisi ke dalam dekapannya. Dengan sayang, Fuchsia mengusap kepala adiknya.
"Nggak semua ibu tiri itu jahat, Sisi," tutur Fuchsia lembut.
Di ambang pintu, Bunda menekap mulutnya dengan perasaan haru yang sulit dijelaskan oleh kata-kata.
"Ibu tiri itu merupakan ibu sambung anak-anaknya. Ibu sambung bakal sayang banget sama anak-anaknya, sama sayangnya kayak ibu kandung."
Malah, mungkin lebih sayang, Fuchsia tersenyum getir, memendam kata-kata itu dalam hatinya.
"Kenapa harus ada ibu tiri? Ibunya Cinderella ke mana?" tanya Sisi menuntut. "Kasian Cinderella, Kak Sya."
"Iya, Kak Sya juga sedih. Tapi, Kak Sya nggak bisa nolong Cinderella. Cinderella jauuuh banget, Kak Sya nggak bisa nyamperin," tutur Fuchsia penuh pengertian. "Ayo, kita berdoa ya, buat Cinderella, semoga Cinderella diberikan kesabaran menghadapi ibu tirinya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Fuchsia
Teen FictionFuchsia cinta akting, tidak cinta yang lain, sampai Fuchsia mengenal Aatreya, anak IPA pendiam yang diam-diam jago nyanyi. Fuchsia yakin Aatreya akan menjadi lawan main yang baik! Terutama, Aatreya adalah tiket utamanya menyabet Piala Citra yang s...