Sano melongokkan kepala ke isi tas, menghitung tanpa suara. Sebuah figur mainan Rainbow Dash ada di dalam tas. Sano tersenyum, lalu mengangguk dan menutup tasnya. Seiring menyelempangkan tasnya di bahu kanan, cowok itu menatap teman sebangkunya.
Bibir Sano menipis.
Hanya settingan.
"Trey, balik?" tanya Sano.
"Hm," Aatreya mendongak dari tasnya. Seperti Sano, ia menutup tasnya setelah memeriksa, lalu memakai tas, berjalan beriringan dengan cowok itu keluar kelas.
Beberapa orang menyapa Sano, yang dibalas cowok itu dengan jail dan nyeleneh seperti biasa, sementara Aatreya tipe yang diam-diam saja kalau nggak harus banget ngomong.
Ketika mereka berada di persimpangan koridor kelas IPA dan IPS, Aatreya berjalan lurus, sementara pintu lobi ada di belokan kanan.
"Lah, ke mana, Trey?" tanya Sano dengan alis mengerut dalam. Langkah panjangnya jadi ikut berhenti.
Aatreya menggaruk tengkuknya sekilas dengan pipi yang mendadak merona. "J-Jemput Sya ...."
Wajah Sano memias. Untuk beberapa detik, ia tak mampu menguasai dirinya, hingga cowok itu akhirnya berdeham dan tersenyum lebar.
"Aduh, lengket bener kayak lem UHU," ledek Sano tertawa.
Tertawa miris.
Aatreya berdeham-deham lagi. "Duluan, No."
Duluan. Iya. Aatreya berhasil mendahului bertahun-tahunnya Sano hanya dalam hitungan minggu.
Lengkung di bibir Sano perlahan turun. Cowok itu menghela napas berat, lalu berbelok kanan, menuruni tangga. Sano sebenernya ... tahu. Meski settingan, baik Aatreya maupun Fuchsia ... sama-sama saling menyukai. Orang yang terlibat nggak bisa melihat itu dengan jelas. Tapi, orang yang menjadi pengamat, jelas mengetahuinya.
Langkah Sano kembali berhenti melihat Rembulani berada di lobi dengan bahu yang menciut. Sesekali, cewek itu menyelipkan rambut panjangnya ke belakang telinga, sementara tangan lain sibuk memegang ponselnya. Beberapa kali, Rembulani menempelkan ponsel di telinga, melepasnya dari telinga, lalu menempelkannya lagi.
Sano berjalan cepat ke arah Rembulani dan menepuk pundak cewek itu. "Hai!"
"Eh, hai, Kak," Rembulani mengerjap kaget, langsung menghadap ke arah Sano.
"Kenapa?" tanya Sano.
Rembulani menggigit bibir, meragu. Membuat Sano langsung mengatakan 'nggak apa-apa'. Mendengar itu, akhirnya Rembulani bicara. "Manajerku masih sakit. Dan hari ini aku ada jadwal syuting di studio TV. Nggak ada yang bisa anter."
"Studio mana?" tanya Sano lagi.
Rembulani menyebutkan nama studionya. Langsung saja, Sano mengangguk-angguk. "Aku juga ada urusan di sana. Mau berangkat bareng?" tawar cowok itu baik hati seperti biasanya. "Oh, tapi aku mau mampir dulu ke rumah Sya. Aku udah janji beliin mainan buat adeknya."
Rembulani melebarkan mata. "Nggak apa-apa?"
Sano mengedikkan bahu. "Santai aja."
Keduanya pun menunggu mobil Hiace milik Sano di lobi. Tidak ada percakapan. Sano berakhir memainkan ponsel sementara Rembulani berkutat dengan flashcard-nya. Sano melirik sekilas flashcard tersebut. Katanya anak-anak kelas sepuluh pada ambis-ambis. Ternyata, rumor tersebut nyata adanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fuchsia
Teen FictionFuchsia cinta akting, tidak cinta yang lain, sampai Fuchsia mengenal Aatreya, anak IPA pendiam yang diam-diam jago nyanyi. Fuchsia yakin Aatreya akan menjadi lawan main yang baik! Terutama, Aatreya adalah tiket utamanya menyabet Piala Citra yang s...