Ada yang baru dari perhelatan penghargaan musik tahun ini. Aktris ternama dan paling berpengaruh dalam dua dekade terakhir, tampil di atas panggung bukan untuk melakukan seni peran. Wanita berumur 40an itu melakukan hal yang sangat jarang—menyanyi. Ketika lampu sorot akhirnya mengarah pada Maya, lantunan piano membuat sendu suasana.
"Tak sempat kumengerti ... kau tunjukkan arah saat kutersesat," nyanyi Maya.
Matanya mengarah pada kamera. Menghayati isi lagu itu, bahkan tanpa terlalu banyak berusaha, karena bagi Maya ... lagu ini sangat mewakili perasaannya. Dirinya yang kehilangan arah dan ketika ia menyadari hal tersebut, semuanya sudah hancur berantakan, tercerai-berai.
"Namun waktu tak pernah rela menunggu ... hingga akhirnya kau pun pergi," lantunan piano dan harmoni biola berubah menjadi hentakkan drum yang membahana, beirkut dengan suara Maya yang meninggi. "Terlambat kusadari, kau teramat berarti. Terlambat tuk kembali dan tuk menanti kesempatan kedua yang tak akan mungkin pernah ada ...."
Chorus pertama yang dibawakan Maya berhasil mendapat standing applause bahkan dari kritikus musik yang berada di jajaran meja tamu. Maya kembali menyanyikan verse dan chorus kedua, hingga di bagian bridge, mata perempuan itu berair, "Biarkan kuhidup dalam penyesalan ini ... sampai nanti kau akan kembali."
Masih tersisa akhir dari lagu. Namun, di pertengahan chorus terakhir, Maya tiba-tiba terisak. Wanita yang selalu tampak berkepala dingin itu, mendadak runtuh begitu saja di depan banyak pasang mata, di depan jutaan mata yang menonton acara tersebut di rumah mereka masing-masing.
Panitia acara segera menyuruh tim televisi untuk memotong acara secara dadakan. Maya digiring ke belakang panggung. Manager Maya, Bu Sukma, lantas memeluk tubuh ringkih tersebut. Maya menggeleng-geleng menutupi kedua wajah dengan telapak tangan, meminta maaf pada managernya karena terbawa emosi.
"Tenang, May, saya nggak marah soal itu. Yang penting kamu tenang dulu, ya," ucap Bu Sukma penuh pengertian. "Jangan pikirkan kejadian tadi. Saya dan tim yang akan meng-handle-nya."
Setelah iklan usai, pembawa acara dengan gaya santai khasnya mengatakan bahwa Maya Rosadi Liora sungguh luar biasa. Karena sangat menghayati lagu, sampai-sampai menangis. Maya yang mendengar itu dari layar televisi di belakang panggung, tertawa dalam hati.
Karena tidak, dia bukan orang yang luar biasa.
Dia sampah.
Bu Sukma mondar-mandir mengatur kekacauan yang Maya buat. Sementara Maya kini duduk di belakang panggung, dipaksa tenang di saat dadanya terasa sangat sesak dan yang bisa ia lakukan hanya terisak seperti anak umur lima tahun dengan keinginannya yang tidak terkabul.
Maya menyandarkan punggungnya ke sofa empuk berbulu tebal yang disediakan khusus untuknya. Mata Maya memejam. Bisingnya belakang panggung menjadi latar suara seiring ingatannya jatuh pada sepuluh tahun yang lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fuchsia
Teen FictionFuchsia cinta akting, tidak cinta yang lain, sampai Fuchsia mengenal Aatreya, anak IPA pendiam yang diam-diam jago nyanyi. Fuchsia yakin Aatreya akan menjadi lawan main yang baik! Terutama, Aatreya adalah tiket utamanya menyabet Piala Citra yang s...