Ada satu rutinitas baru Rembulani. Yaitu berdiri di area perbatasan tangga menuju lantai tiga. Punggungnya bersandar pada mading berisi info untuk anak kelas sepuluh. Dari arah atas, teman-teman seangkatannya berseliweran. Dan dari arah bawah, kakak kelas beda setahun hilir mudik.
Rembulani berdiri tegak, mondar-mandir. Tidak ada yang menyapanya. Ketika video permintaan maafnya viral, sejak itu pula, semua orang menjauhinya bagai penyakit menular. Rembulani tau hal itu akan terjadi. Teman-teman yang lebih asyik dan peduli untuk mengunggah Instagram Story dengan menampilkan wajah Rembulani tidak akan mau disandingkan lagi dengan cewek licik yang menutupi aksinya dengan sikap polos memuakkan. Tidak apa. Rembulani juga sama seperti mereka. Tidak menganggap orang-orang oportunis itu temannya.
Bahu Rembulani menegak tatkala mendengar suara yang selama seminggu ini jadi pengantar dirinya sebelum masuk kelas untuk jam pelajaran pertama.
Suara Fuchsia.
"Sekali aja dalam hidup lo, Jas, jangan main hape sambil jalan! Kalo nggak gue tarik tas lo, lo udah benerang kali sama ikan-ikannya Bu Prita."
"Ya, iya, sorry. Tapi tadi lagi seru-serunya."
"Wattpad lagi? Lama-lama lo bakal jadi penulis juga dah, kayak temen bapaknya Bang Fadhil."
Rembulani refleks bersembunyi di balik dinding tangga, mengamati dua orang yang masih asyik mengobrol itu berlalu dengan suara yang semakin samar seiring langkahnya menjauh. Begitu keduanya tak lagi hadir dalam pandangan, Rembulani menghela napas lega. Sebelum ia tersadar dan mengacak rambutnya. Frustasi.
Kalau terus berlanjut begini ... bisa-bisa Rembulani meminta maaf saat hari kelulusan cewek itu.
"Susah banget," keluh Rembulani.
Karena Rembulani tahu, luka yang sudah ia sebabkan sangat menyakiti Fuchsia.
Selama ini Rembulani mengira hidup Fuchsia berjalan baik-baik saja. Cewek itu populer, disukai banyak orang, dan tersenyum lebar tanpa beban. Rembulani benci itu. Fakta Tante Maya pun membanggakan Fuchsia di depannya juga memperkeruh. Namun, melihat Fuchsia histeris padanya, disusul absen berhari-hari, Rembulani sadar kesalahannya. Nyatanya, nggak ada orang yang hidup tanpa masalah. Bahkan orang yang tertawa dan selalu bisa mencairkan suasana, pasti ada momen di mana ia terpuruk sendirian.
Bahwa nyatanya dunia memang tidak berputar di sekitar Rembulani.
"Harus gimana, dong?" tanya Rembulani memijat dahinya pelan.
Sementara itu, Jasmine dan Fuchsia saling bertatapan ketika meninggalkan area tangga.
"Lo liat, kan?" Jasmine menaruh ponselnya di saku seragam seiring bertanya.
"Lo liat juga?" tanya Fuchsia balik.
"Ya, kalo diliatin tiap hari mah, lama-lama nyadar juga, Sya. Punggung gue berasa bolong. Ada laser kali, ya, di matanya?"
Fuchsia mendengkus geli. Keduanya sampai di jelas XI-IPS-3. Saling sapa dan mengucapkan selamat pagi pada teman sekelas sebelum keduanya duduk di bangku mereka. Kali ini, Fuchsia dan Jasmine kedapatan duduk di dekat jendela dekat balkon. Aktivitas dan seliweran siswa-siswi menjadi latar sebelum Jasmine menyibak tirai menutupi pemandangan.
"Pokoknya lo harus ngomong sama tu Martabak Bulan. Sesegera mungkin," bisik Jasmine.
Ini kenapa Jasmine jadi bisik-bisik, sih?
Jangan bilang ... "Lo takut punggung lo beneran bolong?"
Mata Jasmine membulat. "Lo mau dipelototin dari jauh sampe lulus? Mungkin baru kita doang yang nyadar. Kalo lama-lama orang lain juga nyadar?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Fuchsia
Teen FictionFuchsia cinta akting, tidak cinta yang lain, sampai Fuchsia mengenal Aatreya, anak IPA pendiam yang diam-diam jago nyanyi. Fuchsia yakin Aatreya akan menjadi lawan main yang baik! Terutama, Aatreya adalah tiket utamanya menyabet Piala Citra yang s...