🌊 YUK OMBAKNYA YUK 🌊
Beberapa hari ini, warna di hidup Fuchsia seperti memudar, hingga Fuchsia hanya bisa melihat hitam dan putih, seperti film zaman dulu yang sering ia tonton. Sudah berapa lama ia tidak sekolah? Sudah berapa lama dirinya hanya berbaring berusaha tidak memikirkan apa pun? Sudah berapa lama ia menjadi pengecut?
Semuanya sudah hancur. Mama pasti tidak akan suka fakta bahwa Fuchsia adalah anaknya terkuak di media. Mungkin, Mama akan menyangkal hal itu, mengingat tidak ada reaksi apa pun dari Mama meski beritanya sudah menyebar ke mana-mana. Mama paling benci konferensi pers. Katanya, cuma artis gagal yang ada di sana. Mama nggak mungkin mau jadi artis gagal itu.
Fuchsia tahu dirinya yang tidak mau makan suatu saat akan sampai di titik dirinya ambruk. Tapi, ia tidak peduli. Biarkan saja. Memang, Mama akan peduli kalau dia sakit sekali pun?
Ketika lagi-lagi matanya membuka di kamar rawat, Fuchsia sudah tidak heran lagi. Dirinya memang menyusahkan semua orang. Mungkin, ini juga alasan Mama pergi delapan tahun lalu. Mama tahu, kalau Fuchsia tidak akan bisa sama seperti dirinya.
"Udah bangun?"
Suara asing itu terdengar familiar. Fuchsia menoleh pelan ke asal suara. Seorang wanita paro baya duduk di kursi roda, berada di dekat tempat tidur Fuchsia. Senyumnya yang menenangkan mengingatkan Fuchsia dengan ... Aatreya.
Aatreya.
Fuchsia kangen.
"Mau minum dulu?" tawar wanita asing itu.
Seharusnya Fuchsia waspada. Namun, ia malas berdebat dan memang ia haus. Maka, dia menurut saja ketika wanita itu dengan telaten membantunya minum air mineral dengan sedotan.
Ingatan terakhir Fuchsia adalah ia hendak mengambil minum. Dan tubuhnya mendadak ambruk di dapur. Kalau tidak salah juga, lututnya terkena pecahan gelas yang tak sengaja ia senggol dari top table.
Na'as banget.
"Tante siapa?" tanya Fuchsia ketika dahaganya sirna.
Wanita asing itu hanya tersenyum sebagai jawaban. Matanya mengamati lamat-lamat Fuchsia. Seharusnya sekarang Fuchsia merasa tidak nyaman, namun tatapan wanita itu seperti ... melihat anaknya yang sudah lama tidak ia temui. Guratan rindu yang tidak bisa dijelaskan.
Hingga ....
"Mamanya Trey?" tebak Fuchsia dengan mata melebar.
Wanita itu tersenyum lebar dengan tangan merentang, membuat Fuchsia ikut merentangkan tangan dan memeluk wanita itu erat-erat.
Mamanya Aatreya adalah satu-satunya orang yang familiar ketika Fuchsia mampir ke tempat kerja Mama. Di tempat kerja Mama, Mama cenderung ... menghindarinya. Fuchsia juga segan mendekati Mama. Dan ketika itu, mamanya Aatreya yang sering menyapanya bahkan mengajaknya mengobrol.
"Tante nggak nyangka kamu ingat," kekeh mamanya Aatreya penuh suka cita. "Aatreya aja nggak ingat kamu waktu kecil, Sya."
Mereka melepas pelukan. Fuchsia masih terkejut. Rona di wajahnya perlahan kembali, meski masih jauh dari harapan.
"Tante ke mana aja?" tanya Fuchsia.
"Tante hiatus, Sya. Pas punya anak, Tante fokus sama anak-anak Tante," ucap mamanya Aatreya.
Pantas saja Fuchsia tidak melihat berita tentang mamanya Aatreya lagi. Waktu itu, dia juga masih sangat kecil.
"Fuchsia, kamu mau denger cerita, nggak?" pertanyaan mamanya Aatreya membuat Fuchsia kini menaruh seluruh atensinya pada wanita itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fuchsia
Teen FictionFuchsia cinta akting, tidak cinta yang lain, sampai Fuchsia mengenal Aatreya, anak IPA pendiam yang diam-diam jago nyanyi. Fuchsia yakin Aatreya akan menjadi lawan main yang baik! Terutama, Aatreya adalah tiket utamanya menyabet Piala Citra yang s...