Dengan derasnya ... malam ini hujan turun. Maya berbaring menyamping di pinggir tempat tidur, di mana ia bisa melihat sebuah pigura foto yang ia pajang di nakas. Hanya ketika dirinya sedang sendiri, Maya bisa bebas melihat foto tersebut.
Foto dirinya dan Fuchsia.
Di sana, dirinya masih muda. Memang, sudah sepuluh tahun lamanya sejak foto itu diabadikan oleh ayah kandung anak itu. Hari itu, Fuchsia ulang tahun yang ke-tujuh. Kelas 2 SD. Masih sangat muda. Fuchsia merayakan ulang tahunnya saat jam istirahat kelas. Maya menemani Fuchsia dari awal pesta ulang tahun sampai akhir. Lalu, ketika pulang ke rumah, Maya memintanya untuk berlatih menghapal dialog skenario.
Maya masih mengingat dirinya ....
Kesalahannya.
"S-S-Sakit, Ma ...."
"Masa hapal gini aja nggak bisa, Fuchsia?!" seru Maya kalap, mencubit lengan Fuchsia sampai membiru. "Ikut kata-kata, Mama! Hai, Jess! Kamu lagi melamunkan apa? Kayaknya seru banget. Cuma gitu doang, Fuchsia! Ayo!"
"H-H-Hai ...."
"Fuchsia! Suara kamu bergetar!"
"S-Sakit ... Ma ...."
"Udahlah! Nggak becus kamu, tuh!"
Maya melepas lengan Fuchsia dan masuk ke dalam kamarnya. Tidak memedulikan tangisan sang anak di ruang tv. Tatapnya nanar pada tirai-tirai jendela. Di mana sinar oranye yang menyembul dari selisik tirai berubah menjadi pekat hitam. Dari suara tangis Fuchsia, hening, sampai suara suaminya, Rizky bergaung.
"Papa pulang—Sya?! Astaga, Tuhan! Kamu kenapa?"
Maya berdiam diri di tempat. Lalu, pintu menjeblak terbuka. Suaminya masih mengenakan seragam lengkap. Maya muak melihat wajahnya, maka ia hanya melihat dasi yang telah terlepas dari kaitannya.
"Apa-apaan, May? Itu Fuchsia kenapa sampai biru lengannya? Kamu apain? Dia udah makan siang belum?!"
Maya tetap menatap dasi suaminya.
"Maya! Liat saya!"
Maya terpaksa melihat mata sang suami. Bibirnya menipis, sebelum kata-kata yang keluar dari mulutnya membuat suasana di antara mereka menjadi hening.
"Aku kan udah bilang sama Mas. Aku nggak mau punya anak. Jadinya kayak gini, kan?"
Maya mengambil tasnya, lalu bergegas pergi meninggalkan rumah, menimbulkan henyak tak terkira dari Rizky.
Di ruang tv, Maya melihat Fuchsia meringkuk di permadani. Tangisnya mengering di pipi. Tangannya memeluk lengan yang tadi siang Maya cubit. Maya mendengkus, lalu melanjutkan langkahnya.
Hingga sepuluh tahun kemudian, Maya masih mengingat momen itu sejelas hari kemarin. Mungkin Tuhan sedang menghukumnya atas dosa-dosanya di masa lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fuchsia
Teen FictionFuchsia cinta akting, tidak cinta yang lain, sampai Fuchsia mengenal Aatreya, anak IPA pendiam yang diam-diam jago nyanyi. Fuchsia yakin Aatreya akan menjadi lawan main yang baik! Terutama, Aatreya adalah tiket utamanya menyabet Piala Citra yang s...