Rasanya aneh. Datang ke gedung produksi film Bang Fadhil tanpa Fuchsia. Seperti ada yang hilang, membuat Aatreya perlu melepaskan beberapa hela napas berat yang masih saja belum bisa menenangkannya.
Layar ponsel Aatreya sudah tidak lagi mengedip nyala karena notifikasi dari Fuchsia. Dan meski tahu Fuchsia tidak akan mengirimnya pesan, Aatreya masih saja bergerak cepat mengecek notifikasi ketika ponselnya mengedip nyala.
Apa Fuchsia tidak membutuhkannya sekarang?
"Trey," ucap Bang Fadhil dengan kepala menyembul dari pintu ruang rapat.
Aatreya menaruh kembali ponselnya ke saku celana seragam seiring berdiri canggung. "Iya, Bang," sahutnya. Benar, kan, ketidakhadiran Fuchsia membuat semuanya jadi berbeda.
"Ayo, sini," Bang Fadhil membuka lebar-lebar pintu ruang rapat.
Aatreya memajukan langkah sedikit membungkuk. Dia tahu, di ruang rapat itu ada beberapa eksekutif dan juga penulis skenario. Berhadapan sendirian begini ... benar-benar menyeramkan.
Baru sekarang Aatreya sadar betapa besar pengaruh Fuchsia untuknya. Kehadiran Fuchsia saja sudah mampu membuat Aatreya tenang.
"Jadi gini," mulai Bang Fadhil. "Bu Lova sama Mas Nung udah nonton film kamu."
Bang Fadhil menunjukkan Bu Lova dan Mas Nung dengan jempolnya. Bu Lova, ibu-ibu muda berkerudung yang kini mengangguk kepala ke arah Aatreya dengan senyum. Lalu, Mas Nung yang gondrong dengan kacamata tebal, juga tersenyum ke arah Aatreya. Aatreya juga tersenyum, tapi kayaknya seperti orang yang sakit gigi, maka ia berekspresi datar lagi.
"Bu Lova dan Mas Nung lagi bikin film baru. Film action horror. Tokoh utamanya remaja cowok," tutur Bang Fadhil.
Suasana hening sebentar ....
Aatreya berdeham, "Terus, Bang?" tanya Aatreya kebingungan.
Di titik ini, kayaknya Bang Fadhil gemes banget sama Aatreya. "Terus, mereka mau nawarin peran itu ke kamu. Gimana, kamu tertarik?" tanya Bang Fadhil, kali ini lebih gamblang.
Mata Aatreya membulat sempurna. Dia menatap orang-orang yang ada di ruang rapat bergantian, yang kini malah tersenyum dan mengangguk seolah semua setuju dengan ucapan paling tak masuk akal dari Bang Fadhil tadi.
"Saya???" tanya Aatreya menunjuk dirinya sendiri. Aatreya nengok-nengok lagi, masih bingung luar biasa. "Saya???" dia bertanya lagi.
"Ya iya, kamu, emangnya genderuwo yang jadi tokoh utamanya," celoteh Bang Fadhil makin gemas.
Aatreya terhenyak di tempat duduknya. "Terus, Fuchsia gimana ...?" tanyanya kelepasan. Ketika sadar topik Fuchsia masih sensitif, Aatreya langsung menekap mulutnya. "Maaf."
Mata Bang Fadhil meredup sesaat, sebelum ia menguasai dirinya dan membelokkan obrolan. "Kalo kamu tertarik, nanti ada screening test. Kamu ikut aja, kali aja jodoh."
Sungguh, ini membingungkan. Bagi Aatreya, satu film aja sudah cukup untuk beberapa tahun pengobatan Bunda dan juga untuk dirinya sehari-hari. Sekarang, ketika ada tawaran ini, Aatreya tidak tahu harus apa.
"Aktingmu bagus," ucap Bu Lova seperti menyadari kebingungan di wajah Aatreya. "Masih ada yang perlu dipoles lagi, tapi, sejauh ini, aktingmu benar-benar memukau. Kalau film perdanamu rilis nanti, saya pastikan orang-orang akan jatuh cinta sama akting kamu."
Kepala Aatreya seperti berkabut. Meski bingung, sebenarnya terselip perasaan senang, seperti kerja kerasnya selama beberapa bulan ini, tiba-tiba terbayarkan, dan malah mendapatkan hal yang tak terduga-duga.
Ketika akhirnya orang-orang meninggalkan ruang rapat menyisakan Aatreya dan Bang Fadhil, barulah Aatreya berdiri dari kursinya dan mengangkat tangan menyentuh kepala.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fuchsia
Teen FictionFuchsia cinta akting, tidak cinta yang lain, sampai Fuchsia mengenal Aatreya, anak IPA pendiam yang diam-diam jago nyanyi. Fuchsia yakin Aatreya akan menjadi lawan main yang baik! Terutama, Aatreya adalah tiket utamanya menyabet Piala Citra yang s...