Selama empat tahun ini, Dara tetap mendinginkan Rama. Dia tetap bekerja di restoran untuk membiayai hidup ibunya. Omong-omong tentang ibunya, ibunya tetap seperti itu tidak berubah. Dara sampai pesimis jika ibunya bisa kembali sehat seperti dulu, namun dia tetap berdoa dan berusaha untuk kesembuhan ibunya.
Mengenai Dhafa anaknya dan juga Rama, bukan tanpa sebab dia menyakiti anaknya dengan tidak mengakuinya di depan umum. Dia terlalu sakit hati pada Rama, ia bahkan sengaja menyakiti Rama lewat Dhafa. Sejak Dhafa lahir, Rama terlihat sekali mencintai anaknya itu, setiap hari selalu bergantian dengan asisten rumah tangganya itu untuk mengurusi Dhafa. Sedangkan dirinya? Jelas saja tidak, tidak ada keinginan untuk mengurusi Dhafa. Terlebih saat dia memergoki jika Rama masih menjalin kasih dengan Fita. Yah, sejak saat itu dia semakin sengaja untuk membenci Dhafa. Sejujurnya dia ingin berusaha untuk memulai dari awal, mengingat ada Dhafa diantara mereka. Dia tidak ingin Dhafa seperti dirinya, tapi mengingat dirinya yang tak sengaja melihat Rama masih berkencan dengan Fita. Niatnya urung, hatinya kembali dingin untuk Rama dan Dhafa.
Rama seperti ayahnya dulu, yang selalu memuji ibunya luar dan dalam. Tapi memiliki taring dibelakang untuk menjatuhkan. Rasanya dia tidak sanggup harus hidup dengan pria seperti itu. Rama tidak mau melepaskannya padahal dia sudah meminta Rama untuk pergi dari hidupnya, namun Rama tidak mau. Jadi dengan cara seperti ini lah Dara membuat Rama untuk melepaskannya, dia ingin membuat Rama muak kepadanya dan meninggalkannya.
Hari ini Dara libur bekerja, dan dia menerima tawaran Rio untuk bermain. Dari pada dirinya berdiam diri di rumah, lebih baik dirinya bermain saja. Toh di rumah tidak ada siapa-siapa, maka disinilah Dara berada disebuah taman bermain.
"Abis ini kita ke mana?" Tanya Rio menggenggam tangan Dara.
Mata Dara memindai setiap tempat bermain di sana. Matanya seketika terdiam pada rumah hantu.
"Gimana kalau ke sana?"
Rio menaikkan alisnya. "Kamu nggak takut?"
Dara menggeleng. "Nggak lah, ngapain takut."
"Yaudah yuk kita beli dulu tiketnya." Ajak Rio kemudian berjalan, sambil terus menggenggam tangan Dara.
Antrian rumah hantu itu lumayan panjang, Dara seolah tidak sadar sejak tadi tangannya tak pernah terlepas dari genggaman Rio. Ponselnya yang berasa di dalam saku celan jeansnya itu bergetar, membuat fokus Dara terpecah. Dara membuka notif pesannya, yang ternyata dari Rama.
Di mana kamu?
Dara yang membaca pesan dari Rama hanya mendengus.
"Siapa, Dar?" Tanya Rio penasaran.
"Ah, nggak penting ini salah kirim aja." Balas Dara cuek lalu memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku celana.
Namun baru saja Dara mengucapkan kata-kata tersebut, ponselnya kembali bergetar diiringi dengan suara. Dan itu jelas bukan pesan malainkan telepon, dan sudah dipastikan jika Rama lah yang meneleponnya. Pada awalnya Dara membiarkan, tapi ponselnya itu terus berbunyi dan dia merasa risi begitu beberapa pasang mata di sana memandang ke arah Dara.
"Angkat dulu aja, Dar teleponnya." Ujar Rio.
Dengan tersenyum paksa, Dara berjalan menuju toilet. Sesampainya di sana ia langsung mengangkat teleponnya.
"Kamu dimana?"
"Bukan urusan lo!"
"Aku perlu tahu kamu ada di mana sekarang, Ra."
"Apaan sih, lo. Nggak usah nanya-nanya!"
"Tapi aku berhak untuk tahu."
"Ck, lo lupa? Kita bahkan nggak punya hubungan apa-apa. Jadi jangan pernah tanya kayak gini lagi ke gue!"
Dari ujung sana Rama terdiam, mencerna perkataan Dara yang begitu pas mengenai hatinya.
"Tapi Dhafa liat kamu gandengan tangan sama cowok lain, Ra!" Tekan Rama menahan amarah.
"Udah deh jangan ngarang, lagian gue nggak peduli juga. Mau anak lo liat gue gandengan kek, mau gue ciuman kek, gue nggak peduli!" Tandasnya marah.
"Tapi gue peduli, Ra. Dhafa anak kita, bagaimana mungkin lo bisa ngomong kayak gitu. Apa jadinya kalau anak lo mikir ibunya yang lain-lain?!"
"Gue nggak peduli sialan! Urus, urusan anak lo sendiri. Jangan pernah libatin gue, gue nggak ada sangkut pautnya sama lo. Gue ingetin, kita nggak ada hubungan apa-apa. Jadi jangan pernah lo atur-atur hidup gue lagi, ah atau lo minta aja Fita buat jadi ibunya Dhafa? Bukannya lo berdua mau kawin? Ah sorry bukan kawin tapi married."
Dan lagi-lagi Rama tersentak kaget akan perkataan Dara. Berbagai pertantanyaan ada di kepalanya, dan dia harus menyelesaikan masalah ini.
Sebelum Rama kembali berbicara, Dara sudah menutup panggilan teleponnya. Membuat Rama mengumpat, melupakan Dhafa yang tengah memandangnya dengan pandangan bingung.
_
_
_
_
_Tbc
Sorrry pendek idenya buntu 🤧 maaf yaaa. Tapi semoga aku bisa upload lagi secepatnya ya, maafken 🙏

KAMU SEDANG MEMBACA
The Begining
RomanceSeharusnya Dara sadar, jika hidup tidak akan pernah berjalan sesuai dengan apa yang ia inginkan. Tapi dirinya terlena dengan hidupnya yang sekarang, hidup dalam kekayaan orangtua, dilimpahkan dengan kasih sayang, dan memiliki kekasih yang begitu dia...