Dara dan Dhafa turun dari taksi, wajah ibu dan anak itu terlihat berbeda. Terlebih Dara yang wajahnya memerah, mata Dara tidak bisa berbohong. Dia tetap saja menitikan air matanya, padahal dia sudah mencoba untuk menahannya. Tapi tetap saja dia tidak bisa menahannya, perasaannya begitu lega setelah dia bisa mengutarakan permintaan maaf pada Dhafa. Selama ini dia mencoba tidak peduli pada Dhafa itu hanya pura-pura, karena dia ingin Rama membencinya dan melepaskannya. Setiap dia memarahi Dhafa atau mengacuhkan anaknya itu, dia selalu diam-diam menangis. Sakit rasanya dia melakukan itu semua, tapi mau bagaimana lagi tujuannya untuk menghancurkan Rama. Tapi dia tahu, bukan Rama saja yang hancur tapi dirinya juga.
"Dhafa, pergi ke kamar abis itu makan dan ganti baju, oke?"
Dhafa diam memandang sang ibu, mereka kini sudah berada di dalam rumah. Tepatnya di depan pintu kamar Dhafa.
"Apa Mama mau tinggalin Dhafa?"
Dara berjongkok mensejajarkan wajahnya dengan wajah Dhafa, tangan kanannya mengelus rambut lembut sang anak.
"Kenapa Dhafa tanya gitu, hm?"
"Karena Mama aneh, Mama nggak biasanya kayak gini."
Wajah Dhafa kini sudah memerah, bersiap untuk menangis.
Dara tersenyum, "Mama nggak akan ke mana-mana, Mama akan nebus dosa Mama sama Dhafa. Mama akan terus sama Dhafa sampai Dhafa gede, dan Mama jadi nenek-nenek."
Dhafa menggeleng kali ini dengan matanya yang sudah basah oleh air mata. "Dhafa nggak mau Mama jadi nenek-nenek, Dhafa nggak mau!"
Dan setelah mengatakan hal itu pecah sudah tangisan Dhafa, membuat Dara langsung memeluk sang anak. Dara menenangkan Dhafa mengatakan jika semua orang pasti akan menua, tapi Dhafa tetap keukeuh jika Dara tidak boleh berubah. Dan itu membuat Dara tersenyum lucu mendengarnya.
"Udah kan nangisnya? Mass jagoan Mama nangis?"
Dhafa tersenyum malu lalu mengurai pelukannya.
"Dhafa mandi ya, abis itu Mama tunggu di bawah."
Dhafa mengangguk semangat, sebelum Dhafa menghilang bocah replika Rama itu mencium pipi Dara membuat wanita muda itu tersenyum.
Tanpa Dara sadari, Rama melihat interaksi manis antara Dhafa juga Dara. Ini lah hal yang paling Rama inginkan dari tahun-tahun kemarin, jika Dara bisa menerima Dhafa dan mencintai anaknya itu. Dan pemandangan tadi jelas membuat dirinya sangat kaget, juga terharu. Masih tidak percaya Dara telah berubah, menjadi ibu untuk Dhafa.
Lama Rama melamun membuat Dara tersadar jika Rama sudah berdiri di belakangnya.
"Ada hal yang ingin aku bicarakan."
Rama mengangguk kemudian mengikuti langkah Dara yang menuruni anak tangga.
"Apa yang mau kamu katakan?"
"Aku sudah memutuskan."
Degup jantung Rama berdegup begitu cepat. Perkataan Dara entah mengapa membuat dia tidak tenang, dia merasakan firasat buruk. Karena tidak biasanya Dara yang memulai obrolan serius seperti ini.
"Aku akan pergi membawa Dhafa."
Rama yang kaget akan kata-kata Dara seketika berdiri dari duduknya bahkan tak sadar jika dia mendorong kursi makan kebelakang hingga menimbulkan suara.
"Apa maksudmu?"
"Aku akan membawa Dhafa pergi."
Rama mendengus.
"Setelah kau mencapakannya selama ini? Jangan membuatku ingin tertawa Dara!"
"Aku ibunya, aku yang lebih berhak atasnya!"
"Wow sekarang kau bahkan mengaku jika kau ibunya? Jelaskan padaku Dara, apa tujuanmu sebenarnya!"
"Aku ingin menjauh darimu!"
Wajah Rama yang tadi marah perlahan sirna digantikan dengan wajah sedih.
"Dara, apakah kau tidak bisa memaafkanku?"
Dara memalingkan wajahnya ke arah lain, ketika Rama kini menatapnya begitu dekat.
"Dara aku benar-benar menyesal, aku ingin memulainya dari awal bersamamu dan juga Dhafa. Tak bisa kah kau memikirkannya lagi?"
Dara masih diam, enggan membalas.
"Aku mencintamu, Ra. Apakah itu masih belum cukup?"
Dara menghela napasnya, ditatapnya onyx Rama di depannya.
"Rasanya masih sesak, kau tahu. Setiap akan tidur aku selalu meminum obat tidur, karena jika tidak. Aku tidak akan bisa tertidur, aku selalu terbangun di tengah malam dengan mimpi yang sama. Mimpi saat kau merampas harta yang paling berharga di hidupku! Kau tahu Ram, mimpi itu seperti momok bagiku setiap harinya. Dan aku benar-benar lelah dengan ini semua, jadi bisakah kau lepaskan aku?"
Rama yang mendengar perkataan Dara begitu terguncang, di depannya wanita yang selalu terlihat tegas dan tidak takut apapun itu ternyata rapuh. Dan itu semua karena ulahnya! Brengsek!
Rama berjalan ke arah Dara lalu berlutut di depan wanita itu. Wajahnya begitu kacau, dia benar-bensr frustrasi.
"Dara maafkan aku, aku benar-benar minta maaf."
Rama menciumi kaki Dara dengan tubuh terguncang, pria itu menangis dan Dara juga menangis. Mereka menangis dengan perasaan berbeda, Dara dengan perasaan terlukanya dan Rama dengan rasa sesalnya yang mendalam.
"Maafkan aku sayang, aku benar-benar brengsek. Apa yang harus aku lakukan padamu agar kau mau memaafkan aku Dara?!"
Dara menggeleng, dia juga tidak tahu. Dia tidak tahu apakah dia bisa memaafkan Rama atau tidak. Hatinya masih rapuh oleh rass sakit yang mendalam.
"Untuk saat ini aku hanya ingin kita berpisah."
Rama mendongak wajahnya basah oleh air mata, tatapannya begitu sendu.
"Aku tidak akan menghalangi dirimu untuk mengunjungi Dhafa,"
"Tapi Dara, aku tidak bisa berpisah dengan kalian. Apalagi selama ini Dhafa selalu tidur denganku, selama ini aku selalu memandikannya, menemaninya mengerjakan pr, menemaninya bermain, membacakannya dongeng. Tak bisakah kamu memikirkannya kembali?"
Dara menggeleng. "Aku butuh waktu, satu rumah denganmu membuatku kesulitan. Aku mohon, Ram."
Rama yang mendengar Dara memohon tidak bisa untuk menolaknya, dia terlalu mencintai wanita ini. Direngkuhnya Dara ke dalam pelukannya, mereka kembali menangis.
Apakah ini akhir dari perjalanan cintanya dengan Dara? Tidak bisakah dirinya mendapatkan kesempatan?
🍃
🍃
🍃
🍃Tbc
Dikit gpp yaa yang penting di up hehe... Kok nyesek yaa mereka :( aku ikutin sedih bagian Ramanya. Kebayang gak sih, selama ini Rama yang bertugas jadi ibu buat Dhafa? Dan sekarang dia harus pisah sama anaknya? Aaaa kok Dara nyebelin yaa pisahin bapak ama anak :( tapiiii ... Oke ini bukan salah Dara atau Rama tapi salah saya 🤣 wkwkwk bagaimana dengan chap ini? Bikin kelean galau gak?
KAMU SEDANG MEMBACA
The Begining
RomantizmSeharusnya Dara sadar, jika hidup tidak akan pernah berjalan sesuai dengan apa yang ia inginkan. Tapi dirinya terlena dengan hidupnya yang sekarang, hidup dalam kekayaan orangtua, dilimpahkan dengan kasih sayang, dan memiliki kekasih yang begitu dia...