Bab 29

2.1K 351 58
                                    

Dara menghampiri pria paruh baya itu setelah dia memastikan jika Dhafa dan juga ibunya tidak keluar rumah. Dara memandang ayahnya itu dengan pandangan sinis, terlihat sekali dirinya merasa terganggu dengan keberadaan pria itu.

"Apa yang Anda lakukan di sini?"

Pria bersetelan rapi itu memandang Dara dengan pandangan sedih dan juga kecewa.

"Papa bisa berbicara denganmu, sayang?"

Dara mendengus mendengarnya, apa telinganya kali ini bermasalah?

"Tidak."

Wajah pria paru baya itu semakin sedih mendengarnya.

"Sebaiknya Anda pulang, karena kami sedang sibuk." Ucap Dara lagi yang jelas mengusir ayah kandungnya sendiri.

"Papa mau minta maaf sama kamu, Ra."

Dara mendengus mendengarnya.

Minta maaf, eh?

"Oke saya maafkan,"

Pria itu terpaku di tempatnya mendengar jawaban Dara yang begitu tanpa beban. Terlebih Dara memanggil dirinya dengan kata Anda bukan papa. Seperti yang dulu putrinya itu memanggilnya.

"Kamu tidak bercanda kan, Dara?"

"Tidak. Jadi sebaiknya Anda segera pergi dari sini, karena sudah tidak ada yang perlu dibicarakan lagi."

Dara yang melihat papa nya itu hanya diam saja di depannya, membuat dia memutar bola matanya malas. Jika pria itu tidak mau pergi dari hadapannya, baiklah biarkan dia saja yang pergi.

Dara membalikkan tubuhnya, dia membuka pintu pagar kemudian masuk kembali ke dalam, tak lupa menggembok pagarnya. Takut-takut jika orangtuanya itu nekat untuk masuk ke rumahnya.

Hendrick memandang pagar rumah di depannya itu dengan wajah sendu. Dia memang pantas untuk mendapatkannya, setelah selama ini dia menyakiti putrinya.

Nafsu semata ternyata membuatnya harus membayar mahal apa yang telah dia lakukan pada anak dan istrinya dulu. Ingin sekali dia kembali pada 8 tahun lalu, agar dia tidak bertindak bodoh. Menggadaikan kebahagiaannya dengan nafsu sesaat. Tapi dia tahu, itu tidak mungkin. Kini dia harus menanggung akibat kesalahan fatalnya, kehilangan keluarga serta cucunya.

Hendrick berjalan dengan langkah gontai menuju mobil mahalnya. Sebelum dia benar-benar pergi, dia mihat kembali rumah yang ditinggali istri dan anaknya tersebut dengan pandangan sendu.

"Maafin, papa, Ra. Maafin." Ucapnya lirih yang kemudian masuk ke dalam mobilnya, lalu pergi meninggalkan rumah minimalis tersebut.

Dara masih berdiri membelakangi pagar rumah tantenya tersebut, hanya diam. Wajah yang tadinya ditampilkan sinis dan tidak suka saat melihat sang ayah, kini sudah menghilang. Digantikan dengan pandangan mata yang kosong. Dia menghela napasnya berat lalu membuangnya dengan kasar. Isi kepalanya begitu kosong, dia tidak boleh lengah. Karena sedikit saja dia lengah, maka semuanya akan berantakan. Hatinya sekarang sudah kuat, tidak rapuh seperti dulu. Dia tidak mau lagi merasakan perasaan seperti dulu, cukup kemarin-kemarin tidak sekarang.

Setelah di rasa dia mampu untuk berdiri dengan normal, Dara kembali dikagetkan dengan sang ibu yang kini tengah berdiri menjulang di hadapannya.

"Apa yang berbicara denganmu tadi, papa?" Tanya ibunya menyelidik.

Dara diam, tidak membantah ataupun mengiyakan pertanyaan sang ibu.

"Apa yang papa mu itu katakan?"

Dara memandang sang ibu dengan pandangan yang sulit di artikan.

The BeginingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang