Bab 15

2.7K 425 127
                                    

Rama berlari menuju koridor klinik bersalin, dia benar-benar cemas akan keadaan Dara beserta anaknya. Ponselnya ia senyap kan karena tidak ingin dirinya terganggu. Tapi ternyata itu membuat dirinya dilanda cemas dan menyesal, orang suruhannya itu menemuinya dan langsung menjemputnya di kampus. Mengatakan jika Dara akan melahirkan, dan yang membuatnya khawatir karena Dara pingsan.

Rama berlari dengan sekuat tenaga, bahkan dirinya hampir beberapa kali menabrak orang yang dilewatinya. Sampai kemudian dirinya menemukan asisten rumah tangganya dan juga orang suruhannya di depan sebuah ruangan.

"Tuan Rama," panggil wanita paruh baya yang membawa Dara ke sini.

"Bagaimana Dara? Apakah dia sudah melahirkan."

Wanita itu menggeleng dengan raut cemas, Rama seketika masuk ke dalam ruangan tanpa mendapat izin dari dokter maupun suster yang tengah menangani Dara.

Begitu Rama masuk ke dalam, Rama memandang Dara yang begitu kacau. Kedua tangannya tengah dipegangi oleh suster, sedangkan sang dokter laki-laki tengah berada di antara kedua kaki Dara yang tengah mengangkang. Ingin sekali Rama memarahi dokter pria itu karena berani-berani melihat aset wanitanya,  meskipun dokter itu hanya membantu Dara. Tapi tetap saja ia merasa tidak rela, seharusnya dari kemarin-kemarin dia mencari dokter kandungan wanita bukan pria.

"Brengsek! Ngapain lo di sana. Buruan bantuin gue sialan?!" Seru Dara marah melihat Rama yang malah diam di samping sang dokter yang tengah menyemangatinya.

Rama berjalan menghampiri Dara, lalu memegangi salah satu tangannya.

"Ayo, Ra kamu pasti bisa."

"Ssaakkiittt. Gue nggak mau ngelahirin lagi, gue nggak mau!"

"Iya, iya cuman ini aja."

"Sialan! Kenapa sih nggak elo aja yang hamil, kenapa harus gue!" Seru Dara lagi sambil mencoba mengejan.

"Ayo Bu, bentar lagi keliatan kepala anaknya." Ucap dokter berkacamata itu.

"Itu bukan anak gue sialan!"

Seruan Dara membuat dokter dan beberapa suster di sana memandang aneh Dara.

"Ra!"

"Apa! Ini emang bukan anak gue, tapi anak lo, brengsek! Sakit banget, gue nggak mau, gue nggak mau!" Jerit Dara sambil mengejan.

Dokter yang berada di sana terus menyemangati Dara. Sedangkan Dara sendiri sudah tidak sanggup, dirinya benar-benar kesakitan dan lelah.

"Ayo Bu, terus Bu, sebentar lagi kepalanya keluar." Ucap sang dokter.

Dara tidak mendengarkan sang dokter, dia terus mengejan mencoba untuk terus mengeluarkan janin di dalam perutnya.

Dan tak lama kemudian, seorang bayi laki-laki keluar dari rahim Dara. Dara benar-benar merasa lega dan begitu lelah. Bayi pria itu menangis, dan dirinya tidak peduli karena tubuhnya benar-benar lemas ia seketika menutup kedua matanya dan jatuh tertidur. 

Rama yang melihat Dara jatuh tertidur merasa tenang, wanitanya memang membutuhkan istirahat. Rama kemudian menunduk mengecup kening Dara dengan lembut sambil berbisik.

"Terima kasih, karena mau mempertahankan Dhafa," ucap Rama tulus.

Setelah Rama berbisik, ia kemudian berjalan menghampiri bayinya yang telah dibersihkan oleh suster. Suster tersebut memberikan bayinya itu kepadanya untuk digendong, yang dengan senang hati ia terima. Bayinya dan bayi Dara, perasaan Rama begitu senang hingga sulit untuk di utarakan. Rama terus memerhatikan wajah tampan anaknya, matanya, hidungnya dan juga bibirnya menurun semua dari dirinya, hanya warna rambutnya saja yang menurun dari Dara.

"Dhafa Narandra, itu nama kamu sekarang." Ujar Rama sambil terus memandang Dhafa dengan penuh sayang.

_
_
_
_
_

Semenjak Dara dan Dhafa pulang ke rumah, Dara tidak sekalipun mengurusi anaknya. Dia benar-benar tidak peduli pada Dhafa, mau menangis sebegitu lama dan kerasnya, Dara tetap tidak acuh. Untung saja ada asisten rumah tangga yang selalu membantu Rama untuk mengurusi putranya. Berkali-kali Rama meminta Dara bahkan,  membujuk wanitanya untuk mau sedikit saja memerhatikan Dhafa. Tapi Dara benar-benar keras kepala dan tetap pada pendiriannya untuk tidak mengurusi anaknya. Dan itu membuat Rama sedih dan juga kecewa, apalagi mengingat anaknya itu membutuhkan asi eksklusif. Yang selalu Dara tolak mentah-mentah jika dirinya minta untuk Dhafa. Terkadang Dara juga selalu marah jika anaknya itu menangis di tengah malam. Seperti saat ini misalnya.

Dhafa menangis, Rama yang tidur di sofa kamar Dara itu masih tertidur nyenyak. Dara sendiri terbangun mendengar suara memekakan telinganya.

"Brengsek! Bangun lo?!" Seru Dara marah sambil melemparkan bantal ke wajah Rama, membuat pria itu seketika terbangun.

"Urus sana anak lo! Sakit telinga gue denger suara nangisnya," ujar Dara lagi sambil menyuruh Rama agar segera mengurusi anaknya.

Rama bangun dari tidurnya, ia berjalan menghampiri box bayi yang berada di ujung ruangan. Sedangkan Dara sendiri, kembali untuk melanjutkan tidurnya.

Dan kejadian seperti ini sudah berjalan berbulan-bulan lamanya, bahkan hingga 4 tahun. Dan hati Dara tidak pernah terbuka untuk Dhafa, bahkan Rama merasa jika Dhafa takut pada Dara---ibunya sendiri.

"Ra, bisa tolong bantuin aku buat suapin Dhafa? Aku kesiangan nih belum mandi." Ujar Rama pada Dara yang kini tengah duduk di kursi makan.

Dara mendelik tidak suka, Dhafa anak kecil yang duduk di hadapan ibunya itu seketika berujar. "Tidak usah, Papa. Dhafa bisa sendiri kok, Ma-mama juga lagi sarapan." Tolak Dhafa pelan sambil memandang mangkuknya yang berisi sereal.

Sejujurnya Rama begitu sedih melihat Dhafa yang berusaha agar tidak membuat Dara marah kepadanya. Anaknya itu tumbuh menjadi anak laki-laki yang berpikiran agak dewasa, tidak seperti anak seusianya. Dhafa cukup tahu diri untuk tidak membuat Dara marah, dengan belajar mandiri dan tidak merepotkan sang mama.

"Anak pintar, tunggu sebentar yaa, Papa mandi. Habis itu kita pergi ke sekolah."

Dhafa mengangguk sambil tersenyum, dengan mulut penuh sereal.

Dara sendiri tidak peduli, dia sibuk dengan ponselnya. Dara kembali lagi bekerja di restoran Galang, dan managernya itu menerimanya dengan tangan terbuka. Dirinya sekarang bekerja di bagian dapur, meskipun sesekali dirinya membantu juniornya untuk melayani. Pada awalnya Rama menolak tidak menyutujui keinginan Dara, tapi Dara mengancamnya. Jika dirinya tidak di izinkan untuk kembali bekerja, dia akan mengusir Rama dan Dhafa dari sini dan tidak memedulikan anaknya itu yang begitu menyayanginya. Jika seharusnya tak melihat Dara, Dhafa selalu menangis dan mogok makan. Maka dari itu, Rama menuruti keinginan Dhafa, dan selalu berharap suatu hari nanti jika Dara mau menerima Dhafa sebagai anaknya juga. 

_
_
_
_
_

"Papa, itu Mama. Kenapa tangan Mama pegangan tangan sama Om itu?" Tanya Dhafa polos sambil menunjuk Dara yang tengah berjalan jauh di depannya dengan seorang pria.

Perkataan sang anak membuat  rahang Rama mengeras, tangan yang tak digunakan untuk menuntun tangan Dhafa mengepal dengan kuat. Dia benar-benar emosi, dan juga cemburu melihat Dara yang dengan entengnya bisa bermesraan dengan pria lain!

"Dara!" Teriak suara bash itu kasar, terlihat sekali jika yang memanggil Dara tengah menahan amarahny.

🍃
🍃
🍃
🍃

Tbc

Sorry pendek, mataku udah 5 watt ini nulis dadakan. Semoga tydack mengecewakan yaaa

Sangkyuuu...

The BeginingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang