Sheet 2

117 27 2
                                    

Dengan motor Vespa peninggalan kakeknya, Septyan melaju membelah kota. Lelaki itu bergegas menuju rutan saat ia ditelepon bahwa ayahnya akan bebas hari ini.

Tentu saja Septyan senang. Setelah apa yang ia alami selama ini, ia tak akan lagi tinggal sendiri. Ia merindukan ayahnya. Untung saja ayahnya diberi keringanan karena tak cukup bukti kala itu. Sehingga, ayahnya hanya mendapat hukuman 10 tahun penjara.

Ya, 10 tahun. Itu bukan waktu yang sebentar bagi Septyan. Lelaki itu seolah pengelana. Ia bekerja sana sini untuk mencukupi kebutuhannya sendiri. Seperti anak jalanan, atau bahkan bisa disebut gelandangan. Tapi untungnya, mental lelaki itu cukup kuat untuk sanggup bertahan sejauh ini.

Tak terasa, ia telah memasuki gerbang rutan alias rumah tahanan. Usai memarkirkan motor, ia melihat seorang pria berdiri di depan pintu seraya tersenyum samar. Dia Sembadra, ayahnya.

"Ayah!" seru Septyan. Memang itu panggilan sejak kecil, meskipun terdengar agak aneh, tapi ... dasarnya Septyan memang aneh.

Septyan berlari dan memeluk sang ayah dengan sayang. Ia rindu berat karena sebulan terakhir tak mengunjungi pria itu.

"Tyan," lirih Sembadra.

"Ayo pulang, Yah." Septyan meraih tas besar yang ada di tangan Sembadra kemudian membawanya menuju motor.

Septyan itu family man, pecinta keluarga. Jadi, jangan heran kalau Septyan bertingkah seperti itu pada ayahnya. Apalagi Septyan anak tunggal, dan sekarang hanya memiliki seorang ayah.

***

Di rumah sederhana inilah Septyan tinggal. Rumahnya tak begitu bagus, namun juga tak begitu jelek, lumayan untuk ditinggali. Sudah 3 tahun Septyan tinggal di rumah ini.

"Tehnya diminum, Yah." Septyan menyodorkan secangkir teh pada sang ayah yang saat ini tengah duduk di kursi.

Sembadra tersenyum.

"Maafin Ayah, ya, Nak," ucapnya untuk ke sekian kali.

Selatan menggeleng. "Jangan minta maaf, Ayah gak salah. Tyan tau bukan Ayah pelakunya, itu cuma kecelakaan."

Sembadra terharu. Sifat Septyan mirip dengannya. Murah senyum, dan pemaaf. Pria itu jadi menyesal telah meninggalkan putranya selama bertahun-tahun.

"Kamu masih kerja di tempat kerja lama kamu?" tanya Sembadra.

Biasanya, jika Septyan menjenguknya, lelaki itu akan menceritakan tentang banyak hal, termasuk tempat kerja lelaki itu. Septyan bekerja di sebuah toko bunga milik ibu-ibu yang sudah lansia.

"Masih," jawab Septyan seadanya.

"Mulai sekarang, kamu gak perlu kerja lagi. Ayah yang bakal cari uang." Sembadra menepuk pundak kokoh putra semata wayangnya.

Septyan menggeleng enggan. "Gapapa, Tyan suka kerja di tempat Nek Albie."

"Tugas kamu belajar. Jangan bikin ayah jadi seperti penumpang di sini," ujar Sembadra.

Akhirnya, Septyan menghela napas. Ia menyukai tempat kerjanya yang sekarang. Meski letaknya jauh dari tempat ia tinggal, toko bunga itu adalah tempat yang ingin ia kunjungi setiap hari.

"Iya, nanti Tyan pertimbangkan."

Di waktu yang sama namun tempat yang berbeda, seorang gadis dengan rambut terikat tengah menikmati makanan ringan di tangannya. Acara televisi bergambar tuyul kembar kesukaannya tengah tayang di layar persegi itu.

"Sephia."

Sebuah suara menginterupsinya. Sephia lantas menoleh dengan mulut yang masih mengunyah keripik.

Peluka(n) [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang