Sheet 21

39 8 0
                                        

Tak ada harapan untuk saat ini. Satu-satunya jalan ialah berjalan kaki ke rumah. Uangnya habis untuk membeli kue tadi. Ia juga tak membawa ATM. Wajar saja, ia belum pulang ke rumah sejak tadi. Ia hanya mengikuti permintaan Septyan untuk mengantar lelaki itu membeli hadiah.

Ia pikir, Septyan akan mengantarnya pulang. Namun, dugaannya salah besar. Septyan membiarkannya pulang seorang diri. Jika tahu begini, harusnya Sephia langsung pulang saja tadi.

Jarak rumahnya dari rumah Radea sekitar 5 KM. Tubuhnya yang mungil membuat langkah kaki kecil. Bisa kalian bayangkan, bagaimana lelahnya Sephia saat ini.

Sang surya sudah tenggelam, warna hitam mulai memenuhi langit. Tinggal beberapa meter lagi ia sampai di rumahnya. Ingin pingsan, tentu Sephia merasakannya. Untungnya I hanya membawa tas kosong dengan isi sebuah pulpen hitam dan ponsel, yang membuatnya tidak keberatan saat membawa tas tersebut.

Tiba-tiba, sebuah mobil hitam lewat tepat di sampingnya. Sephia tersadar dari lamunan. Ia mendongak dan menatap mobil hitam tersebut. Mobil itu berhenti tepat di depan rumahnya.

Sephia menatap mobil itu lamat-lamat. Tak lama, keluarlah seorang wanita dari dalam sana.

"Mama!" Sephia refleks berteriak saat menyadari, yang keluar dari mobil tersebut adalah Elena. Yang dipanggil seketika berhenti di tempatnya.

Sephia berlari sekuat tenaga. Kaki-kakinya yang semula lemas, seakan kembali mendapat kekuatan. Saat Elena memasuki gerbang, Sephia langsung memeluk wanita itu dengan erat.

Elena tampak berbeda, tak seperti mama yang dikenal oleh Sephia. Elena tak lagi mengikat rambut, atau mengenakan pakaian panjang untuk menutupi luka-lukanya. Sekarang, wanita itu tampak cantik, bak sosialita yang hobi pamer harta. Rambutnya digerai, pakaiannya pendek dan terlihat mahal di mata Sephia.

Tapi, Sephia sama sekali tak peduli akan hal itu. Gadis itu memeluk Elena sambil menangis. Rasa lelahnya luluh saat melihat sang mama kembali.

"Mama ... aku kangen. Mama kemana aja? Kenapa Mama pergi gak bilang-bilang?" isak Sephia tersedu. Keringat di wajahnya bercampur dengan air mata. Pedih.

"Ayo, masuk. Jangan nangis di sini, gak baik diliatin tetangga," ucap Elena lembut.

Sephia mendongakkan kepalanya, menatap Elena yang tersenyum manis. Elena mengusap pipi Sephia, menghapus air mata gadis itu sembari berkata, "Jangan nangis, Mama di sini."

Sephia mengangguk. Akhirnya, dalam kegelapan yang mulai memenuhi pandangan, mereka berdua berjalan memasuki rumah. Beruntung, Brama belum pulang dari tempat kerjanya.

Sesampainya di dalam rumah, Elena melepas rangkulan Sephia. Elena menatap Sephia sejenak.

"Sebentar, ya," kata Elena. Sephia menggeleng.

"Sebentar, nanti Mama ke sini lagi. Mama cuma mau ke kamar," bujuk Elena. Sesaat, Sephia menurut. Gadis itu mengangguk pelan.

Sephia menatap jam rumahnya, maghrib hampir menjelang. Ia terkejut, ternyata ia pulang terlalu larut. Hanya berselang 5 menit, terdengar suara adzan berkumandang.

Sephia melepas sepatu dan tas sekolah, meninggalkannya di lantai begitu saja, kemudian beranjak untuk memanggil Elena. Gadis itu berniat mengajak Elena salat berjama'ah.

Karena itulah, sekarang Sephia melangkahkan kakinya menuju kamar Elena. Sampai di depan pintu, Sephia membuka pintu tersebut tanpa salam atau izin.

Saat pintu terbuka, Sephia melihat Elena menaruh pulpen di meja riasnya. Di atas meja tersebut, Sephia juga melihat selembar kertas yang tampak asing di matanya.

Peluka(n) [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang