Sheet 24

43 9 5
                                    

Rumah Sephia seketika suram. Pejabat terkenal di kota meninggal dunia hari ini. Semua berduka, orang-orang berpakaian hitam menyambangi rumah Sephia untuk menyampaikan duka cita.

Sephia sendiri tengah merebahkan di dalam kamarnya. Ia kelelahan sebab menangis seharian. Niatnya, ia ingin ikut menyolatkan papanya, namun ia tak sanggup. Mbok Endang pun melarangnya sebab takut kondisi Sephia semakin parah.

Gadis itu tiba-tiba teringat pada Septyan. Ia harus memberi tahu Septyan akan hal ini. Ralat—ia sedang butuh Septyan saat ini.

Tangannya yang panas membuka ponsel. Ia menelepon Septyan. Semoga saja Septyan menjawabnya dengan baik, tak seperti tadi.

Tak lama, panggilan terhubung. Sephia segera membuka percakapan sebelum Septyan memotongnya.

"Assalamu'alaikum, Yan. Lo bisa ke sini? Ayah gue meninggal," ucap Sephia lemah.

Tak ada jawaban dari sana. Hening. Sephia masih menunggu sembari meletakkan ponselnya di telinga.

"Yan ...." Sephia memanggil sekali lagi.

"Gue lagi sama Radea, Sep. Nanti kalo gue bisa, gue bakal ke sana." Akhirnya Septyan membalasnya, namun dengan kata-kata yang menyakitkan.

"Tapi, Yan, gue butuh lo sekarang," pinta Sephia dengan suara yang bergetar. Ia ingin menangis karena hatinya sakit.

"Sorry, Sep."

Tut

Untuk kedua kalinya panggilan diputus sepihak oleh Septyan. Dan lagi, Septyan membuat Sephia menangis. Air mata hangat meluncur keluar dari mata gadis itu.

"Sorry, Yan, gue ganggu lo." Sephia bergumam.

Tanpa permisi, air mata Sephia jatuh berkali-kali. Ia mengusapnya dengan pelan. Sungguh di luar dugaan Sephia. Ia pikir Septyan akan datang karena papanya meninggal, nyatanya tidak.

Septyan memilih Radea.

Itu cukup membuktikan bahwasanya Sephia hanya pengisi waktu luang Septyan. Sephia hanyalah satu puzzle pelengkap dan sekarang menghilang, tergantikan oleh puzzle baru yang lebih bagus.

"Kenapa, sih?! Kenapa gue sakit pas tau lo lebih milih Radea dibanding nemenin gue? Gue lagi berduka, Yan, lo sadar gak, sih, kalo lo nyakitin gue?!"

Itu juga cukup membuktikan bahwa ucapan Belia benar. Ia mencintai Septyan. Tapi kenapa ia harus mencintai lelaki itu? Lelaki itu adalah milik orang lain. Hanya karena terbiasa, kenapa harus cinta?

Sephia memukul-mukul kepalanya sendiri dengan pelan. Ia ingin menghilangkan segala pikiran tentang Septyan sekarang ini. Tapi, rasanya begitu sulit.

"Kenapa gue cinta sama lo, Septyan! Kenapa gue harus patah hati di saat kaya gini?!" tanya Sephia entah pada siapa. Suaranya yang parau hampir tak terdengar.

"Gak! Gak! Gue harus bunuh perasaan ini. Gue gak boleh jatuh cinta sama seseorang yang udah jadi milik orang lain."

Sephia menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya. Ia berusaha mengatur napas agar pusing di kepalanya enyah.

***

Suasana sore yang menyedihkan. Awan gelap, namun tak kunjung turun hujan. Langit masih belum menumpahkan airnya, mungkin langit menangis diam-diam.

Pemakaman sepi setelah beberapa saat lalu ramai karena pemakaman Almarhum Brama. Sekarang hanya tersisa Sephia sendirian. Ini begitu menyakitkan bagi gadis itu. Rasanya baru kemarin ia melihat Brama tersenyum, sekarang pria itu telah pergi.

Peluka(n) [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang