Sheet 3

88 23 3
                                        

Jam olahraga berjalan seperti biasanya. Pak Erwan selaku guru olahraga, memerintahkan muridnya untuk memutari halaman sekolah sebanyak 3 putaran. Pak Erwan bukanlah tipe penyiksa yang suka memberatkan murid-muridnya.

Usai memutari halaman sekolah, mereka berbaris rapi sesuai arahan Pak Erwan. Sialnya, Septyan dan Sephia ditempatkan bersebelahan. Semua orang tahu bahwa mereka suka bertengkar saat dekat.

"Sep, geser sini. Jangan deket-deket dia." Belia menarik lengan kaos olahraga milik Sephia.

Sephia lantas menatap Belia dengan dahi berkerut. "Kenapa, sih?" tanya Sephia.

Wajar Sephia bingung bertanya. Gadis itu hanyalah murid yang pindah ke kota ini setahun lalu. Belia mendekatkan kepalanya ke Sephia lalu berbisik, "Jangan lupa, dia anak pembunuh."

Deg

Sephia tampak kaget. Matanya membulat. Bukan karena takut, tapi karena ia tak menyangka. Yang ia dengar selama ini hanyalah Septyan anak narapidana. Tapi, tak ada yang mengatakan bahwa orang tua lelaki itu adalah seorang pembunuh.

Bagimana ia bisa lupa kalau dia sendiri bahkan tidak tahu. Apa satu setengah tahun itu belum cukup untuk Sephia mengetahui tentang berita sepenting ini?

"Lo gak usah ber—"

"Hehh, ssstt. Udah, kita mulai pelajarannya." Melihat dua gadis cantik tengah berbicara sendiri, Pak Erwan dengan sabar mengingatkan.

Sephia tersentak. Ia segera kembali ke posisinya karena tadi bergeser sebab ditarik Belia. Untuk sesaat, ia menatap Septyan. Tak ada raut wajah bersalah dari lelaki itu. Tapi ia yakin, Septyan benci diperlakukan seperti penjahat.

Yaa, siapa yang suka bila dianggap jahat?

"Olahraga hari ini adalah basket. Saya yakin kalian semua sudah mengerti pelajaran ini, karena minggu lalu saya sudah menjelaskannya. Maka dari itu, sekarang kalian akan tanding basket. Satu tim berisi 5 orang, campur supaya adil." Pak Erwan menjelaskan dengan detail.

Kelas ini memiliki 30 murid. 15 lelaki dan 15 lagi perempuan. Maka dari itu, supaya tidak terjadi kesenjangan antara laki-laki dan perempuan, Pak Erwan mencampurnya.

"Yahh, Bel. Gue gak sekelompok sama lo," desah Sephia kecewa. Belia tentu saja termasuk urutan pertama karena inisial gadis itu adalah yang kedua dalam abjad.

Belia tersenyum. "Gapapa, semangat! Lo bakal sekelompok sama Septyan. Hati-hati, dia bisa bunuh lo."

Terdengar seperti peringatan. Tapi, Sephia tak percaya. Mana mungkin anak SMA bisa membunuh. Iya, kan? Apalagi ini sekolah yang ramai. Tak mungkin Septyan berani melakukan itu.

Yang Sephia pikirkan saat ini adalah Septyan, hingga ia lupa bahwa dirinya tidak bisa bermain basket.

***

Tiba giliran Sephia dan timnya bertanding melawan tim lain. Sephia gugup, ia tidak bisa bermain basket. Jujur sekali, bukan?

"Gue gak yakin menang kalo sekelompok sama Sephia," kekeh Shelli.

Sephia tahu itu hanyalah candaan yang biasa dilontarkan untuk pencair suasana.

"Gue bisa main!" balas Sephia.

"Minggu kemarin aja lo gak bisa masukin satu pun bola ke ring, Sep." Alman menyambung, lelaki yang berdiri di depan.

"Makanya renang, biar lo tinggi. Tuh, got depan rumah gue nganggur," sahut Cica yang merupakan teman satu tim Sephia juga.

Sephia terkekeh. "Iya, tau gue pendek. Kalo gue tinggi, gue gampar lo semua!" ancamnya.

"Kapan?" tanya Alman. Sephia terbiasa dengan ejekan seperti itu. Toh, faktanya ia memang pendek.

Peluka(n) [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang