Sheet 22

39 10 0
                                        

Detak jam terus berbunyi tiap detiknya. Jarum jam pendek hampir menunjukkan pukul 4 pagi. Sunyi.

Sephia berada di tengah jalanan yang sepi. Gadis itu menengok ke sana kemari, kebingungan sendiri. Tiba-tiba, ia melihat tubuh Elena yang berada tak jauh darinya. Elena bersama dengan seorang pria, dan Sephia tahu betul, pria itu bukanlah papanya.

"Mama? Mama gak jadi pergi ninggalin aku?" tanya Sephia antusias. Gadis itu berlari menghampiri Elena.

"Maaf, tapi Mama bakal tetap pergi. Mama pengen mulai kehidupan baru yang lebih baik," ucap Elena seraya menatap nanar anaknya.

"Tapi ... aku sayang sama Mama."

"Mama sayang sama kamu, Mama selalu do'ain kamu, Sephia. Tapi, Mama gak bisa kaya gini terus, Mama juga pengen bahagia."

Paru-paru Sephia terasa menyempit seketika. Napasnya jadi sesak dan tercekat. Ia tak tahu lagi harus bagaimana.

"Mama pergi, gak perlu nunggu Mama kembali buat jemput kamu. Jangan terlalu berharap," sambung Elena.

Sephia semakin kalut. Elena justru membalikkan badan dan berjalan bersama pria di sampingnya, menjauhi Sephia yang masih terpaku tak berdaya.

Yang dapat Sephia lakukan hanyalah memanggil mamanya, berharap wanita itu kembali. Frustasi.

"Mama!"

"Mama!"

"MAMA!" Sephia terlonjak dari kasurnya. Gadis itu terbangun dengan keringat yang bercucuran di tubuh.

"Nduk, Nduk." Suara Mbok Endang terdengar di telinga Sephia.

Sephia refleks terduduk dan menatap Mbok Endang dengan intens. "Mama mana, Mbok? Mama gak pergi, kan?" tanya Sephia panik.

Mbok Endang, wanita itu sudah menunggui Sephia selama berjam-jam hingga tertidur. Wanita itu terbangun saat Sephia berteriak dan mengagetkannya. Ia juga semakin kaget saat Sephia menanyakan tentang Elena. Apa yang harus Mbok Endang katakan?

Sebelum Mbok Endang menjawab, seseorang datang ke kamar Sephia dan menjawab pertanyaan gadis berumur hampir 17 tahun itu.

"Mama kamu sudah pergi. Apa yang masih kamu harapkan dari wanita itu?" Tiba-tiba, suara Brama menginterupsi Sephia dan Mbok Endang.

Mbok Endang yang paham keadaan, segera pamit keluar. Wanita tua itu tak ingin mengganggu, mungkin saya Sephia butuh bicara berdua dengan Papanya.

Air mata Sephia tumpah perlahan. Gadis itu menyibakkan selimut, kemudian mendekati Brama.

"Mama pergi kemana, Pa?" tanya Sephia.

"Pa, jawab aku!" Sephia menuntut. "Papa!" sentak Sephia dengan air mata yang berlinang.

"Sephia!" bentak Brama. "Elena sudah pergi jauh, jangan bermimpi wanita itu akan kembali! Saya jamin dia tidak akan kembali, sekalipun kamu mati," ucap Brama tegas sekaligus pedas.

Sephia menggeleng sambil menangis. "Terus kenapa Papa gak nahan Mama?! Kenapa Papa biarin Mama pergi?" isaknya.

"Saya bukannya membiarkan dia pergi, saya hanya lelah menahan dia supaya terus di sini." Brama membuang wajah seraya melipat tangannya di depan dada.

"Terus kenapa Papa gak berhenti nyakitin Mama? Papa nyakitin Mama terus sampe Mama pergi ninggalin kita." Suara Sephia parau.

Sephia juga tak tahu alasan Brama masih terbangun dini hari seperti ini. Ah, bukan tak tahu, tapi tak peduli. Sephia hanya ingin Elena sekarang.

"Karena wanita itu sudah nyakitin saya!" sentak Brama telak.

"Enggak!" balas Sephia.

"Tau apa kamu?" tanya Brama menantang.

"Aku tau semuanya, aku tau Papa selingkuh, aku tau Papa selalu mukulin Mama, aku juga tau Papa gak pernah peduli sama aku. Papa itu Papa yang buruk buat aku," lirih Sephia. Ucapannya nyaris tak terdengar karena kehabisan suara.

"Saya kaya gini karena Elena, apa kamu tau itu, hah? Dasar anak sialan!"

"5 tahun, Pa. 5 tahun Papa bikin keluarga ini hancur, dan dengan seenaknya Papa nyalahin Mama?!" tanya Sephia ketus.

"Berhenti menyalahkan saya, Sephia! Apa kamu tau, Mama kamu itu selingkuh? Apa kamu tau, kalau 5 tahun yang lalu, seseorang datang dan mengaku sebagai Ayah kamu? Apa kamu tau kalau ... kamu bukan anak kandung saya?!" Brama bertanya balik. "Elena yang menghancurkan keluarga ini, bukan saya. Saya selingkuh, itu juga karena dia."

"Jadi itu alasan Papa nyakitin Mama? Kenapa Papa gak pernah bilang dari dulu?! Kenapa Papa sama Mama nutupin semuanya dari aku? Kalian anggap aku apa, sih?!" Sephia bertanya bertubi-tubi. "Kenapa Papa gak maafin Mama aja?! Kenapa Papa bikin semuanya tambah rumit?!"

Kenapa? Sephia ingin mendapat jawabannya.

"Sudah saya bilang, berhenti menyalahkan saya! Kamu itu cuma anak kecil yang tidak tau rasanya patah hati dan dikhianati. Syukur saya masih mau nerima kamu setelah tau kamu bukan anak saya. Dasar anak tidak tau diri!" Brama mendorong tubuh Sephia hingga terhuyung ke belakang. Sephia mundur beberapa langkah.

Sephia menggeleng dan menangis, benar-benar tidak percaya dengan semuanya.

"Semua ini bohong! Kenapa dunia ini penuh sama kebohongan? Kenapa Papa—"

"Hahhh ... hahh ... hahh ...."

Sephia menghentikan ucapannya saat melihat Brama memegangi dada kirinya sambil terngengah. Napas pria itu sesak hingga menjatuhkan diri di lantai. Sekarang, pria itu meremas dadanya menahan sakit.

Sephia yang tadinya menangis, sekarang berteriak histeris sambil mendekati sang papa. Ia bersimpuh di samping Brama seraya menggerak-gerakkan tubuh pria itu.

"Papa! Papa kenapa?!" Sephia berteriak sambil menggoyangkan tubuh Brama yang telah menegang.

Suara Brama sangat memekakan telinga Sephia. Gadis itu ketakutan. "Papa!"

Teriakannya mengundang para pekerja rumah. Satu persatu pekerja memasuki kamar Sephia.

"Tuan kenapa?" tanya salah satu ART.

Sephia menggeleng tak tahu. "Tolong, tolongin Papa!"

Mereka semua panik. Salah satu ART segera menelepon ambulan. Mbok Endang tak kalah panik, wanita itu turut menggoyangkan tubuh Brama, berharap pria itu baik-baik saja.

***

Adzan subuh berkumandang saat Sephia tiba di rumah sakit. Gadis itu kelimpungan mencari sang papa. Ia berharap papanya baik-baik saja. Seperti orang gila yang panik. Ia khawatir terjadi apa-apa dengan Brama.

Salat, Sephia rasa hanya hal itu yang bisa dilakukannya sekarang. Sepertinya ia harus salat untuk menenangkan dirinya.

Gadis itu berjalan melewati lorong rumah sakit yang diterangi cahaya lampu. Sephia tampak berantakan. Rambutnya acak-acakan, napasnya memburu hebat. Pakaiannya berbau wangi, namun tubuhnya berkeringat.

Wajar saja, gadis itu belum mandi sejak kemarin. Mbok Endang yang mengganti seragamnya dengan baju tidur. Sephia bahkan baru terbangun dari pingsan, namun harus menelan kenyataan pahit.

Semua ini begitu menyakitkan baginya. Mamanya pergi, Papanya sakit, ia benar-benar kalut. Ucapan Brama terngiang, berputar di kepalanya tanpa henti. Sungguh, ia hampir gila sekarang.

Ditinggalkan mamanya, pingsan, terbangun, bertengkar dengan papanya, dan berakhir di rumah sakit karena papanya tiba-tiba sakit. Apa dirinya sekuat itu?

Sesampainya di musala, Sephia segera mengambil air wudhu untuk melaksanakan salat subuh. Apapun masalahnya, salat tetap yang utama.

Setelah salat, tentu Sephia berdo'a supaya Brama baik-baik saja. Sekesal apapun ia, setidak terima apapun ia, ia masih menyayangi Brama, sekalipun Brama bukanlah ayah kandungnya.

-

1031 kata.

Sampai jumpa di lembar selanjutnya.

Peluka(n) [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang