Sheet 8

70 15 2
                                        

Pulang ke rumah, mungkin ini tak bisa disebut rumah. Ini seperti penjara. Memuakkan, penuh kebohongan. Entah, ia marah, kecewa, tapi ini tetap rumahnya, dan mereka yang bernama Brama dan Elena tetap orang tuanya.

Tepat saat adzan maghrib berbunyi, Sephia memasuki rumahnya. Sambutan hangat diberikan oleh Mbok Endang. Memang hangat, tapi yang Sephia harapkan adalah Elena, bukan Bi Endang.

"Nduk dari mana saja? Simbok khawatir. Sephia sudah makan? Mbok ambilin, ya? Nduk pasti lapar."

Sephia tahu, senyum milik Mbok Endang hanyalah sebatas keceriaan menyambut dirinya pulang. Sebenarnya, wanita berumur itu tak tega melihatnya. Mbok Endang kasihan dengan kondisinya.

Sephia sebenarnya juga kasihan dengan dirinya sendiri. Cengeng, lemah, tak bisa membuat keluarganya kembali harmonis. Sephia hanya ingin itu, kehangatan keluarga.

Setelah beberapa saat, Sephia menggelengkan kepala. Gadis itu menolak makanan yang ditawarkan Mbok Endang.

"Enggak, Mbok. Sephia mau bersihin badan terus tidur. Sephia capek." Sephia tersenyum di depan Mbok Endang, seakan menunjukkan bahwa ia baik-baik saja.

"Nduk ...." Mbok Endang memanggil Sephia.

"Sephia gapapa." Usai mengucap itu, Sephia pergi meninggalkan Mbok Endang.

Mbok Endang menatap satu persatu langkah Sephia. Ia tak sanggup melihat pertengkaran yang setiap hari terjadi di rumah ini, ia tak kuasa saat melihat Sephia menangis sendirian.

Tapi, apalah daya. Mbok Endang hanya sebatas ART di sini. Menenangkan Sephia, setidaknya itu yang bisa ia lakukan untuk membantu keluarga ini.

***

"Sephia ...." Sedari tadi, suara parau memanggil-manggil Sephia dari luar. Elena, sudah 15 menit wanita itu berdiri di depan pintu sambil mengetuk.

Sementara itu, Sephia menyembunyikan dirinya di balik selimut. Meringkuk di atas kasur, menutup seluruh tubuh dengan selimut, menangis dalam kesendirian.

"Dengerin Mama dulu, Nak." Elena mencoba membujuk anaknya.

Apa Sephia peduli? Gadis itu masih mencoba menenangkan diri, sama sekali tak berniat untuk membuka pintu.

"Mama bisa jelasin."

Apa maksudnya tadi? Apa Elena akan pergi meninggalkannya sendirian? Bukankah wanita itu telah berjanji untuk tetap ada di samping Sephia?

Sephia menutup telinganya rapat-rapat. Sungguh, ia tak ingin mengingat ini sekarang. Semua makin terasa rumit.

"Sephia, dengerin Mama dulu. Mama mau pergi sebentar aja. Cuma sebentar, nanti Mama ke sini lagi buat jemput kamu," isak Elena.

Hati Sephia seakan diremas kuat. Semudah itu? Apa Elena tidak memikirkan perasaannya? Sephia memang tak suka jika Elena selalu disiksa oleh Brama. Tapi dalam hati kecilnya, ia yakin Brama akan berubah suatu hari nanti.

Ia harus bersabar. Ia harus bertahan dan membuat perumahan itu terjadi.

***

Suara burung bercicit menghiasi suasana pagi ini. Sephia turun dari kamarnya menuju ruang makan untuk sarapan seperti biasa.

Dengan seragam dan atribut lengkap, Sephia menuruni tangga. Suara sepatu yang menapak lantai miliknya hampir tak terdengar. Sephia berhenti di tempatnya. Sesaat, ia mendengar perdebatan kedua orang tuanya.

"Aku capek! Aku mau kita pisah secepatnya!" Elena berteriak dengan keras.

"Bukannya saya sudah mengatakan saya tidak akan mengizinkan kamu?!" sentak Brama.

"Aku tetap mau pergi!" balas Elena cepat.

Dengan langkah seribu, Sephia menghampiri mereka berdua. Cukup kemari ia lari dari masalah. Sekarang, ia akan menghadapinya.

"Mama, Papa, udah!" Sephia berteriak dengan lantang di ruang makan, tempat di mana kegaduhan antara kedua orang tuanya terjadi. Sontak kedua orang tua itu menoleh pada Sephia.

"Kamu anak kecil, gak perlu ikut campur!" Brama menatap Sephia tajam.

"Aku ini anak Papa!" Sephia berani menyentak Brama.

"Tapi, ini urusan kami!" ucap Brama lagi.

Sephia beralih menatap Elena. Wanita itu menangis, Sephia tidak tega. Ia berlari lalu memeluk Elena, sampai ia melupakan fakta bahwa Brama mengatakan bahwa Elena pun memiliki simpanan.

Sephia menyayangi kedua orang tuanya, tapi ia lebih menyayangi Elena. Tapi jika bisa, ia lebih memilih kedua orang tuanya saling menyayangi.

Sephia menangis di pelukan Elena, berharap wanita itu luluh. "Mama jangan pergi."

Elena mengusap hidungnya yang basah. Ia tak kuasa menahannya.

"Mama akan pergi, tapi Mama gak akan pernah ninggalin kamu," ucap Elena.

Melihat adegan itu, Brama melipat kedua tangannya di depan dada. "Cihh, drama!" ucap pria berjas abu gelap itu.

Sephia melepas pelukannya pada Elena lalu membalikkan badan. "Papa gak usah kaya gitu lagi! Asal papa tahu, bukan cuma Mama yang capek, tapi Sephia juga!" ucap Sephia.

Brama justru mengalihkan pandangannya sesaat. Beberapa detik setelahnya, pria itu berdecih lagi lalu meninggalkan kedua ibu-anak itu. Brama keluar dari rumah, tak lupa dengan tas berisi berkas-berkas penting yang selalu jadi hal paling utama di hidupnya.

Sephia kembali menatap Elena.

"Sephia minta maaf. Mama jangan pergi, jangan ninggalin Sephia," ucap Sephia sekali lagi. Ia benar-benar tak ingin Elena pergi.

Dengan wajah yang masih basah, Elena mencium dahi Sephia. Lagi-lagi Elena memeluknya dengan penuh sayang.

"Mama gak akan ninggalin Sephia."

Kalimat itu, apa Sephia harus mempercayainya? Tidak akan meninggalkan bukan berarti tidak akan pergi. Sungguh, Sephia tak ingin berada jauh dari Elena. Sekalipun Elena pergi lalu kembali lagi, Sephia tetap tak menginginkan itu terjadi.

***

Pada akhirnya, Sephia harus berangkat dengan wajah seperti bengkak karena habis menangis. Make up pun tak bisa menyamarkannya, sebab matanya terlalu sembab. Sephia harus mencoba tersenyum. Soal Belia yang menanyakan sebab, itu akan ia pikirkan nanti.

Di dalam salah satu kelas yang ramai pagi ini, Sephia memainkan ponsel seolah sibuk, padahal gadis itu hanya menscroll ponsel, keluar masuk aplikasi, begitu seterusnya sampai Belia sendiri tak sadar bahwa sahabatnya habis menangis.

Tunggu. Apa benar Belia tidak menyadarinya, atau Belia tidak peduli pada Sephia sama sekali? Sejak tadi, Belia tak kalah asik memainkan ponselnya sambil tertawa-tawa salah tingkah.

"Aww!" seru Belia kecil.

"Sep, gue dibilang cantik sama Kak Artha, masa!"

"Gue digombalin!"

"Aaa, gue baper parah!"

Sephia hanya mengiyakan dengan malas seolah tak peduli, padahal hatinya sedang sakit bukan main. Sephia berharap perasaan salahnya ini lekas menghilang. Ia tak boleh mencintai Artha lagi, karena sekarang, Artha adalah milik sahabatnya.

Karena asik menunduk sambil memainkan ponsel asal-asalan di bangkunya, Sephia sampai tak menyadari bahwa ada sepasang mata yang menatapnya sedari tadi. Tatapannya sulit diartikan. Bahagia? Penuh tanya? Atau apa?

Mungkin, dari sekian banyak murid di kelas ini, tak ada satupun orang yang menyadari wajah Sephia saat ini—selain orang yang menatapnya sejak tadi tanpa henti. Sebab, Sephia hanya menurunkan kepala, dan yang terpenting, semua sibuk dengan urusan masing-masing.

Tangan Sephia memang bergerak memainkan ponsel seakan memiliki urusan penting, tapi otak dan hatinya tak bisa berbohong. Mengapa patah hatinya harus berlapis padahal hatinya bukan bawang. Sakit sekali rasanya.

-

Haii! Kembali lagi dengan 1025 kata hari ini. Jangan sungkan-sungkan kasih vote, yaa.

Sampai jumpa di lembar selanjutnya.

Peluka(n) [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang