Sheet 15

36 14 0
                                        

Septyan sudah pulang, Sephia pun begitu. Saat ini, gadis itu memasuki pintu rumah yang besar, di hadapannya tersaji sang papa beserta mamanya, mereka menatap Sephia dengan tajam. Sephia menghela napasnya kasar kemudian merotasi bola matanya malas.

"Dari mana kamu?" Brama bertanya dengan nada cuek. Pria itu masih mengenakan jas kerja ... atau mungkin baru akan berangkat bekerja usai beristirahat.

Sephia terdiam. Brama lantas mendekati Sephia. "Itu tadi pacar kamu? Kamu punya pacar, hah?!" tanya Brama menyentak.

Septyan? Pacar Sephia? Sephia berdecih membayangkan hal itu.

"Saya gak pernah mengizinkan kamu untuk pacaran, Sephia Isyanna Lovaileen." Brama menyebutkan nama Sephia dengan lengkap, dengan nada yang halus bak desisan ular.

"Jawab! Mau jadi kaya Mama kamu, hah?!" Brama kembali menyentak.

"Udah, Mas!" Elena berusaha menghentikan suaminya.

"Masa bodoh!" kata pria itu kasar.

Jadi seperti Elena katanya? Yang dipukul dan dicaci setiap harinya? Jadi seperti Elena? Sephia tidak peduli. Toh, ia terbiasa dengan rasa sakit yang selama ini ia terima.

"Berhenti atau aku bakal pergi dari sini!" sentak Elena berusaha menghentikan perlakuan kasar Brama terhadap anaknya.

Brama berdecak kemudian menolehkan kepala pada Elena yang berdiri di belakangnya. "Saya berhenti ataupun tidak, saya yakin kamu tetap bakal pergi."

"Jangan sakiti anakku!" ucap Elena lantang.

Jangan sakiti katanya? Padahal ia sendiri pernah menyakiti hati Sephia hingga hancur dan lebur.

"Silakan kalau kamu mau pergi, tapi siap-siap kamu kehilangan anak ini," ucap Brama, membuat Elena terhenyak kaget. Ia menatap iba pada anaknya.

"Aku bakal bawa Sephia pergi, dia anakku!"

"Kalau mau pergi, silakan pergi. Tapi, jangan bawa anak ini. Saya akan mengajarinya sedikit tata krama, tidak seperti kamu!"

"Berani kamu ngomong gitu ke aku, Mas. Selama ini kamu kemana aja?! Selingkuh sana sini, kamu gak pernah ngajarin Sephia sama sekali. Aku yang selalu ngajarin dia, nemenin dia belajar!" balas Elena tak terima.

"Apa yang kamu ajarkan? Cara men-"

"BERHENTI! SEPHIA CAPEK!" Teriakan Sephia menghentikan perdebatan orang tuanya. Mereka menoleh pada Sephia.

"Itu cuma temen aku, dia gak kaya, tapi setidaknya dia punya tata krama buat diajarkan ke orang lain." Ucapan Sephia itu seakan menghina Brama. Secara tak langsung, Sephia mengatakan bahwa Brama tak berhak mengajarkannya tata krama sebab pria itu tak punya.

"Di mana sopan santun kamu?!" sentak Brama.

"Sudah hilang sejak aku juga kehilangan kasih sayang."

Sephia berjalan melewati Brama dan Elena menuju kamarnya. Menaiki tangga dan memasuki tempat ternyamannya itu. Ia membanting pintu dengan keras hingga suaranya menggema di rumah.

Setelah Sephia memasuki kamarnya, Brama beralih menatap Elena.

"Itu yang kamu bilang anak baik, hah?!" Brama bertanya. Elena tertunduk bungkam dibuatnya.

"Harusnya dulu kamu turutin kata saya, buang dia jauh-jauh."

***

Sephia menatap langit-langit kamarnya tanpa suara. Hanya air mata yang menetes perlahan dari sudut matanya. Ini sudah hampir menyentuh tengah malam, tapi Sephia sama sekali belum mengantuk. Pikirannya terlalu berat untuk diajak beristirahat.

Peluka(n) [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang