Sheet 18

38 12 0
                                        

Sekolah tengah ramai dengan para murid yang berlalu lalang. Mereka dibebaskan untuk pergi kemanapun, asalkan masih menaati peraturan sekolah.

Ada yang pergi ke kantin, ada yang bergosip ria, ada yang tidur, ada yang main ponsel, ada juga yang tengah bertanding basket di lapangan indoor SMA. Pertandingan basket itu diadakan iseng-iseng saja. Salah satu pemainnya adalah Artha, yang saat ini tengah berada di tengah-tengah lapangan sambil berusaha memenangkan pertandingan bersama timnya.

Jika ada Artha, artinya juga ada Belia. Gadis cantik itu tengah menonton pertandingan basket kekasihnya bersama dengan Sephia yang saat ini duduk di sampingnya. Dari tribun, suara riuh menyemangati para pemain terdengar heboh.

"Sep! Liat Kak Artha, ganteng banget!" seru Belia kegirangan. Sephia tak menggubrisnya, ia justru melamun di tengah keramaian itu.

"Ya ampun, pacar gue ganteng banget!" Belia lagi-lagi berteriak. "Uhh, damagenya nembus sampe pankreas!"

Belia yang tak mendapat jawaban, akhirnya menoleh pada gadis di sampingnya. "Sep! Lo nonton pertandingannya gak, sih?" tanyanya.

Sephia lantas mengangkat kepala, menatap sahabatnya yang tengah jengkel itu.

"Lo itu kenapa? Dari tadi lo murung kaya kurang asupan. Cowok itu nyakitin lo, ya? Kan, udah gue bilangin buat jauhin dia. Lo, sih, gak percaya." Belia berkata panjang lebar dalam satu tarikan napas. Ia menerka apa yang terjadi pada Sephia saat ini.

Sephia menggeleng, namun mulutnya sama sekali tak terbuka untuk menjawab pertanyaan Belia.

"Liat cowok-cowok di sana aja, mereka jauh lebih baik dari pada cowok itu. Pelet apa, sih, yang digunain sama dia, sampe bikin lo klepek-klepek?" Belia geram sendiri, Sephia pun tak kunjung membalas ucapannya.

Tanpa Belia tahu, Sephia tengah mencoba menenangkan pikirannya sendiri. Gadis itu terlalu pening, hingga tak bisa menonton pertandingan menegangkan ini. Ditambah saat Belia memarahinya, memberinya petuah-petuah tak berguna.

"Liat, tuh, dia ganteng banget!" Belia menunjuk salah seorang lelaki yang berada satu tim dengan kekasihnya.

"Itu juga!" Belia menunjuk lelaki lain yang ada di lapangan tersebut dengan kegirangan.

"Bisa berhenti gak, sih?! Gue risih, tau gak?!" sentak Sephia emosi.

Belia yang tadinya menatap seisi lapangan, terkejut dan seketika menolehkan kepala pada Sephia. Sephia menyentaknya dengan keras, bahkan beberapa orang di sekitar mereka juga tak jauh beda dengan Belia—menatap Sephia kaget.

"K-kok lo bentak gue?" tanya Belia berusaha mencari ekspresi bercanda di wajah Sephia. Namun sepertinya, Sephia serius membentaknya.

"Udahlah, gue capek!" Sephia berjalan melewati Belia dan murid yang lainnya. Gadis itu naik ke atas, keluar dari tribun dan meninggalkan pertandingan ini. Belia terhenyak. Gadis itu menatap punggung Sephia yang perlahan menghilang ditelan jarak.

Belia terdiam dan menunduk kaku. Apa ada yang salah dengan ucapannya? Atau Sephia yang egois karena tak mendengarkan kata-katanya?

Sephia akhirnya keluar dari lapangan indoor itu. Ia menghela napas kasar. Jujur, ia sendiri tak percaya bisa membentak Belia sebegitu kerasnya. Tapi kenyataannya, Belia memang terlalu menjengkelkan, berisik, membuat Sephia tidak tenang.

"Sorry, Bel." Sephia bergumam lirih.

Sephia akhirnya melangkah pelan menuju kelas. Sangat menyedihkan. Hingga tibalah Sephia di kelasnya. Saat memasuki ruangan itu, Sephia langsung mengarahkan tatapannya pada Septyan.

Untuk beberapa saat, Sephia memandangi lelaki yang tengah bermain ponsel tersebut. Rupanya Septyan tak menyadari kedatangannya sekarang ini.

Di kelas ini, sekarang hanya tersisa beberapa orang, termasuk Septyan. Mereka adalah para murid dengan jiwa-jiwa mager tingkat dewa.

Tanpa pikir panjang lagi, Sephia pergi ke mejanya untuk mengambil tas. Usai mengambil tas, ia kembali berjalan untuk keluar dari kelas. Namun tiba-tiba, suara berat Septyan memanggilnya.

"Eh, Sep. Mau kemana?" tanya Septyan.

Sephia menghentikan langkahnya sesaat seraya berkata, "Pulang." Kemudian, Sephia kembali berjalan.

"Loh, kan belum waktunya." Septyan kembali memfokuskan mata pada layar kaca ponselnya.

"Gue sakit," tukas Sephia cepat.

"Sakit apa? Cepet sembuh, ya."

Sephia mengangguk. "Hem," ucapnya yang tengah didengar atau tidak oleh Septyan.

"Gue balik duluan, ya. Assalamu'alaikum," ucap Sephia pada teman-teman sekelasnya.

"Wa'alaikumussalam, hati-hati, Sep!" Para teman di kelas Sephia mulai menjawab salam satu persatu.

Di ambang pintu, Sephia berhenti mendadak. Ia kembali menatap Septyan dari ekor matanya. Gadis itu melihat Septyan yang fokus pada ponselnya. Septyan pun terkekeh sendiri seperti orang kurang waras. Sephia yakin itu karena Radea, sebab Septyan tak pernah seperti itu sebelumnya.

Sephia masih menatap Septyan, berharap lelaki itu menyadarinya dan bersedia mengantarnya pulang. Setelah hampir semenit menunggu, Sephia menghembuskan napasnya pelan.

Septyan masih fokus pada ponselnya, tanpa sekalipun merasa ditinggalkan oleh Sephia.

Sephia akhirnya benar-benar meninggalkan kelas. Gadis itu tak ingin memaksa Septyan untuk mengantarnya pulang. Tak apa, ia masih bisa pulang sendiri.

Sebelum pulang, gadis itu terlebih dahulu meniti langkah ke ruang Bimbingan Konseling untuk meminta izin.

Tok tok tok

"Assalamu'alaikum." Suara Sephia terdengar setelah ketukan pintu.

"Wa'alaikumussalam. Masuk," seru guru BK dari dalam ruangan.

Usai mendapat izin, Sephia lantas membuka pintu ruang BK. Gadis itu melihat Bu Uci tengah duduk di sapa satu kursi sendirian. Mungkin saja guru BK yang lain sedang libur, atau ... keluar untuk mencari anak-anak bermasalah.

Gadis dengan rambut kuncir kuda tersebut akhirnya duduk di kursi, tepat di hadapan Bu Uci sang guru BK.

"Eh, Sephia. Ada yang bisa Ibu bantu?" tawar Bu Uci. Sephia menggeleng dan tersenyum enggan.

"Saya cuma mau minta izin pulang duluan, saya lagi tidak enak badan," papar Sephia menejelaskan maksud kedatangannya.

Sebenarnya gadis itu tidak sakit, ia hanya terlalu muak berada di sekolah.

"Boleh. Eh, denger-denger, kamu temenan sama anak napi itu, ya?" tanya Bu Uci.

Sephia mengangguk. "Iya. Memangnya kenapa, Bu?" tanya Sephia.

"Jangan terlalu dekat dengan dia, dia bukan anak baik," lirih Bu Uci. Tubuh Sephia bergetar seketika saat mendengar apa yang diucapkan gurunya.

"Dia anak baik, Bu. Asal Ibu tau," ucap Sephia membela lelaki itu.

"Ibu tau dia anak yang pintar, tapi tetap harus antisipasi. Kebanyakan psikopat itu pintar," ucap Bu Uci.

"Ibu gak usah lebay, itu cuma asumsi masyarakat. Septyan bukan orang yang seburuk itu," balas Sephia tanpa sopan santun.

"Saya mau pulang duluan, Bu. Terima kasih atas izinnya. Assalamuu'alaikum." Gadis itu berpamitan pada Bu Uci sebelum keluar dari ruang BK.

Semua orang membenci Septyan, semua orang menjauhi Septyan. Sephia sakit hati saat mengingat fakta itu. Karena itulah ia memilih untuk cepat-cepat pulang, sebelum dirinya makin dibuat down di sini.

Septyan hanya memiliki 1 orang—ralat—2 orang. Ayah lelaki itu, dan gadis baru bernama Radea. Septyan selalu dihujam oleh kata-kata menyakitkan, Sephia tak ingin merusak kebahagian kecil yang didapat lelaki itu sekarang.

Tapi jujur, ia juga membutuhkan Septyan saat ini.

-

1043 word. Jangan lupa vote dan komen.

Sampai jumpa di lembar selanjutnya.

Peluka(n) [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang