Terhitung 2 tahun lebih sejak Sephia koma di rumah sakit. Gadis itu sama sekali belum menunjukkan peningkatan atas kondisinya.
Di sisi lain, Belia sekarang telah menjadi mahasiswi di salah satu universitas terkenal di kota. Belia harus merelakan impiannya untuk kuliah di luar negeri karena ia tak bisa meninggalkan Sephia di sini.
Dan yang terakhir, Septyan, lelaki yang tak pernah bisa tidur dengan tenang sejak hari itu. 2 tahun terakhir, Septyan menjadi lelaki yang lebih introvert, tak peduli apapun. Toh, tak ada orang lain yang mau menjadi temannya.
Satu-satunya orang yang mau menjadi temannya, kini terbaring dengan kabel-kabel terpasang di tubuh. Memang benar, bahwa kita akan menyadari bahwa sesuatu akan lebih berharga saat kita kehilangan.
Ah! Tidak! Jangan mengatakan itu. Septyan belum kehilangan Sephia. Septyan dan Sephia hanya berpisah untuk sesaat, sebelum akhirnya bertemu lagi. Kapan? Entah.
Sekarang, Septyan berprofesi sebagai pemilik toko bunga. Nenek Albie sudah meninggal setengah tahun yang lalu. Dan beliau mewariskan toko bunganya pada Septyan. Awalnya, Septyan menolak. Namun, akhirnya ia menerimanya atas paksaan anak-anak Nenek Albie.
Septyan tahu alasan mereka memaksanya menjadi pewaris toko itu, padahal tak ada ikatan darah antara mereka. Anak-anak Nek Albie takut jika toko bunga itu tak terurus. Mereka semua sudah memiliki pekerjaan masing-masing, sibuk, tak memiliki waktu bahkan hanya untuk menengok toko itu.
Dan untungnya, sekarang Septyan berhasil membuat toko itu berkembang meskipun tidak pesat. Setidaknya, penghasilan dari toko bunga itu bisa ia gunakan untuk menggaji para pekerja, memenuhi kebutuhannya dan sang ayah, dan memberi sedekah pada orang yang kurang mampu, seperti yang diminta oleh Nek Albie.
"Yan, apa sebaiknya kita pasrah aja? Kayaknya udah gak ada harapan lagi buat Sephia bisa bangun."
Suara lembut Elena menyapa Septyan. Hanya suaranya yang lembut, sedangkan kata-katanya sangat tajam.
"Jangan nyerah, Tante. Saya yakin Sephia akan bangun. Kita sabar aja, banyak berdo'a." Septyan membalas ucapan Elena dengan sopan.
Elena menghela napas, kemudian menatap putrinya. Wanita yang duduk di samping brankar Sephia itu hampir kehilangan harapan. Berapa lama lagi anaknya akan sembuh? Ia takut anaknya tersiksa karena tak kunjung lepas dari dunia.
Namun, berbeda dengan Septyan yang optimis Sephia akan terbangun. Lelaki itu bahkan rela jika harus menunggu Sephia entah berapa lamanya.
"Tapi, Tante gak sanggup ngeliat anak Tante kaya gini terus. Tante pengen dia tenang," ucap Elena. Wanita itu menangis kecil.
Emosi Septyan tersulut. Apa-apaan. Mengapa orang yang notabene-nya adalah ibu, justru menginginkan anaknya meninggal. Mama Sephia memang sudah gila.
"Tante ngomong apa, sih?! Sephia bakal bangun," ucap Septyan hampir meluapkan emosinya.
"Tapi, Yan—"
"Kalau Tante udah gak kuat jaga Sephia, biar saya yang jagain dia!" ucap Septyan dengan nada yang sedikit tinggi.
"Bukannya Tante gak kuat jaga Sephia, Tante cum—"
Suara napas Sephia tiba-tiba terdengar memekakan telinga. Tubuh Sephia kejang-kejang, hingga akhirnya ....
Tiiiiittttt
Suara monitor terdengar nyaring memenuhi ruangan. Elena sontak menghentikan ucapannya dan beralih pada sang anak. Septyan panik. Lelaki yang tadinya duduk di sofa itu, kini mendekati Sephia.
"Sep! Sephia!" Septyan menggoyangkan tubuh Sephia yang sudah pucat pasi.
Septyan dengan cepat menekan tombol darurat beberapa kali.

KAMU SEDANG MEMBACA
Peluka(n) [END]
Novela Juvenil-Pelukan dari sang penggores luka paling dalam- *** Di mata orang, Sephia dan Septyan itu berbeda. Sephia dianggap sebagai gadis yang beruntung, padahal gadis itu sedang berusaha mengembalikan keharmonisan keluarganya. Sementara Septyan, hidupnya ta...