Semakin hari keadaan Sephia makin memburuk. Memburuk dalam artian, gadis itu jadi pemurung. Sebagian besar warga sekolah menganggap Sephia telah disakiti dan trauma dekat dengan Septyan, sebab sejak hari di mana bazar digelar, Sephia jarang bahkan tak pernah terlihat bersama Septyan lagi.
Sephia yang dulunya selalu cerah, sekarang memancarkan aura yang kurang menyenangkan. Pakaiannya sering tak rapi, wajahnya pucat dan terkadang sembab, dan tak pernah mengikat rambutnya lagi. Sephia membiarkan rambutnya tergerai, tak seperti dulu yang selalu rapi dalam ikatan kuncir kuda.
Dan tepat hari ini, laporan hasil belajar akan dibagikan. Murid-murid tengah menunggu orang tua mereka datang untuk menghadap guru. Kebanyakan dari mereka panik, takut mendapat nilai jelek yang akan membuat mereka dimarahi otomatis.
Namun, berbeda halnya dengan Sephia, gadis itu justru termenung di kantin sekolah sendirian. Maksudnya, ia tak memiliki teman bicara ataupun teman semeja. Ia tak yakin orang tuanya akan datang mengambil rapornya. Sebenarnya, tidak masalah jika itu tak diambil. Ia hanya sedih karena tak satupun di antara kedua orang tuanya peduli dengannya.
Sephia mengaduk-aduk es teh yang tersaji di depannya tanpa nafsu untuk minum. Sephia ingin menangis, sungguh, tapi ia sadar ini bukan tempat yang cocok.
"Nah, ini orangnya."
Sayup-sayup Sephia mendengar suara seseorang. Namun, Sephia sama sekali tak berniat untuk menengoknya.
"Sephia." Orang itu melanjutkan ucapan dengan memanggil namanya.
Sephia menolehkan kepala dan menatap orang tersebut. Rupanya Septyan-bersama dengan ayahnya. Jujur, Sephia belum pernah melihat Sembadra, tapi dari yang ia lihat, ia dapat menyimpulkan pria yang berjalan di samping Septyan adalah ayah lelaki itu yang kemungkinan usai mengambil rapor.
Septyan mengambil duduk di seberang meja Sephia, jadi kini mereka berhadapan. Sephia tersenyum pada Sembadra, begitu pula Sembadra. Sephia yakin Septyan pasti bahagia karena ini kali pertamanya diambilkan rapor oleh sang ayah.
Senyum Sembadra terlihat sangat tulus, senyum yang tak pernah Sephia lihat dari papanya sendiri. Pria itu tampak gagah dengan pakaian sederhana, tak seperti para orang tua yang mengenakan jas dan pakaian mahal. Sephia juga yakin, Sembadra bangga memiliki anak sepandai Septyan.
"Ini Sephia, Yah. Teman Septyan paling baik, meskipun kelakuannya kaya singa lepas kandang." Septyan memperkenalkan Sephia pada ayahnya.
Sephia lantas bangkit dan mengulurkan tangan untuk menyalimi pria tua tersebut. Sembadra pun menyalaminya. Terlihat sopan, Sephia berusaha menahan sesak melihat keakraban Septyan dengan ayahnya.
"Saya Sembadra, Ayahnya Tyan," ucap Sembadra memperkenalkan diri setelah mereka melepas tangan.
"Iya, Om. Septyan udah cerita banyak tentang Om. Om sehat?" tanya Sephia sumringah.
"Alhamdulillah, sehat. Tyan juga sering cerita tentang kamu, loh. Makasih banyak sudah mau baik dan berteman sama Tyan," jawab Sembadra.
Sephia tersenyum menanggapi. "Sama-sama, anak Om juga baik."
"Oh, ya. Makasih udah beliin Om makanan. Om hutang budi sama kamu," kata Sembadra memuji.
"Gapapa, saya ikhlas bantuin Om," balas Sephia canggung.
Sembadra menatap Sephia untuk beberapa saat, sebelum akhirnya mengalihkan perhatiannya pada Septyan seraya bertanya, "Ini bukan pacar kamu, ya?"
Yang ditanya hanya menggeleng. "Pacar aku sekolah di Gemintang."
"Padahal Sephia baik, loh. Cantik, cocok juga sama kamu." Sembadra terkekeh mendengar perkataannya sendiri.
Septyan begidik. Ayahnya belum tahu saja bagaimana kelakuan Sephia yang dapat menyebabkan orang darah tinggi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Peluka(n) [END]
Teen Fiction-Pelukan dari sang penggores luka paling dalam- *** Di mata orang, Sephia dan Septyan itu berbeda. Sephia dianggap sebagai gadis yang beruntung, padahal gadis itu sedang berusaha mengembalikan keharmonisan keluarganya. Sementara Septyan, hidupnya ta...