Sheet 28

41 9 4
                                    

Tubuh jangkung Septyan berjalan menyusuri koridor rumah sakit. Septyan bukan lagi Septyan yang dulu. Septyan menjadi lelaki yang lebih pemurung, dari pada dirinya sendiri di masa lalu.

Septyan yang dulunya sedih karena gunjingan masyarakat, kini sedihnya makin menjadi sejak Sephia dinyatakan koma. Selama Sephia koma, hingga saat ini, Septyan masih setia menjaga gadis itu, berharap gadis itu terbangun.

Hingga akhirnya, sampailah Septyan di kamar inap Sephia. Septyan membuka pintu ruangan tersebut. Pemandangan yang ia lihat masih sama. Sephia masih terbujur kaku di atas brankar.

Setelah menutup kembali pintu, Septyan bergerak menuju kursi yang ada tepat di samping brankar. Septyan duduk di kursi tersebut. Wajahnya tampak sedih, namun dicoba untuk tetap tersenyum.

"Hai, Sep. Gue dateng," ucap Septyan pilu. Lelaki itu meletakkan bunga yang ia pegang ke dekat kepala Sephia.

"Selamat ulang tahun buat lo ... dan buat gue." Septyan mencoba untuk tetap tersenyum. Ini adalah ulang tahun Sephia yang ke 17, sedangkan yang ke 18 untuk Septyan.

Mereka ulang tahun di tanggal dan bulan yang sama. 7 September. Namun, September kali ini berubah menjadi Sad-tember karena insiden tak terduga.

"Lo udah tidur berbulan-bulan. Lo gak capek?" tanya Septyan.

"Bangunlahh, gue janji bakal turutin apa yang lo bilang." Septyan mengulurkan tangannya untuk mengusap kening Sephia. Lelaki itu mengelus kepala Sephia dengan sayang.

"Jujur, gue gak tega liat lo dipasangin kabel-kabel kaya gini. Lo gak bosen, atau lagi nunggu kesetrum, sih?!" Septyan terkekeh, mencoba menghibur dirinya sendiri. Ia terkekeh sendiri, namun hanya sebentar, karena lelaki itu merasa sedih setelahnya.

"Gue tau lo benci gue, tapi gak gini caranya." Septyan meletakkan kepalanya di atas kasur, di samping tubuh Sephia yang masih pucat. "Harusnya gue yang pergi dari kehidupan lo, bukan lo yang pergi dari dunia ini."

"Jangan gini, Sep. Bangun! Gue nungguin lo di sini." Lelaki itu terisak kecil. Ekspresinya mudah berubah seperti penderita bipolar.

"Sephia ...." Suara Septyan makin mengecil, lelaki itu tak sanggup. Napasnya sesak karena melihat Sephia yang terbaring kaku di rumah sakit.

Penderitaan gadis itu belum berakhir. Ia harus berjuang melawan maut supaya tetap hidup. Ah, salah. Harusnya Septyan tak perlu menyelamatkan Sephia hari itu, agar Sephia tewas, seperti apa yang gadis itu inginkan sejak awal.

"Gue kangen lo. Kangennnn banget." Rasanya, Septyan ingin memeluk gadis itu.

"Lo cepet sadar, ya. Jangan tidur mulu, mentang-mentang lo mageran," ucap Septyan bercanda. Padahal nyawa Sephia tengah diambang antara kehidupan dan kematian.

Bukan-bukan, Septyan tengah mencoba menghibur dirinya sendiri. Rasa bersalah kembali merundungnya. Ia teringat saat ia menemukan Sephia terbujur di lantai kamar. Darah mengalir dari pergelangan tangan kiri gadis itu. Urat nadinya mungkin putus, atau hampir. Septyan bukan dokter, ia tak tahu itu.

Setiap hari Septyan hanya diisi pengharapan agar Sephia bangun. Aura negatif terpancar dari lelaki yang kini tengah menangis itu. Kebanyakan orang pasti akan mengira bahwa Septyan lelaki yang cengeng. Padahal kenyataannya, Septyan tidak cengeng. Lelaki itu hanya dibutakan oleh cinta. Atau mungkin juga ... rasa bersalah.

***

Usai keluar dari kamar Sephia, Septyan kembali menyusuri koridor rumah sakit. Rumah sakit masih ramai-ramainya, sebab malam belum terlalu larut.

Septyan teringat saat ia membawa Sephia ke rumah sakit ini. Bayang-bayang dirinya samar-samar terlihat. Saat ia menggendong Sephia yang sudah sekarat. Darah gadis itu menetes di lantai rumah sakit. Saat itu, Septyan kebingungan sekaligus kelelahan karena berlari. Beruntungnya, Sephia segera ditolong oleh dokter.

Di tengah jalan, Septyan berpapasan dengan Belia. Belia pun berniat mengunjungi Sephia di ruangannya.

"Eh, Yan. Mau balik?" tanya Belia pada Septyan.

Septyan berhenti di tempatnya. "Mau beli makan buat Ayah gue, nanti gue ke sini lagi."

Belia terkekeh. "Lo suka, ya, sama Sephia?" tanya Belia lagi.

"Kenapa? Ada masalah?" Septyan menjawabnya balik dengan pertanyaan.

"Gue nanya doang. Lo setiap hari ke sini buat ngunjungin Sephia. Gue juga sering liat lo nangisin Sephia," ucap Belia.

"Lupain itu, anggap aja gue gak pernah nangis." Septyan rasa, hal semacam ini tak penting untuk orang seperti Belia.

Belia menghela napas. "Septyan, kalo cowok udah nangis karena cewek, artinya cowok itu udah cinta mati. Jarang ada cowok kaya gitu," ucapnya menggoda lelaki itu.

"Terserah." Entah sejak kapan Septyan berubah menjadi cuek dan dingin seperti ini.

Setelah mengatakan itu, Septyan kembali melangkah menuju ke pintu keluar. Namun, sebelum ia benar-benar pergi dari sana, ia sempat mendengar Belia mengatakan sesuatu yang membuat Septyan menegang.

"Jangan sakitin Sephia lagi, ya. Sephia sayang banget sama lo."

***

Sekarang, Septyan tengah berada di atas rooftop gedung lama. Tempat ini adalah saksi bisu, di mana ia pertama kalinya memeluk seorang gadis bernama Sephia Isyanna Lovaileen.

Septyan duduk di pinggir rooftop sambil menatap langit. Malam ini tak ada bintang yang terlihat, semua tertutup awan. Hanya ada cahaya bulan yang menembus mega hitam.

Ia beralih menatap tempat di sebelahnya. Bayang-bayang Sephia kembali mengisi otaknya. Ia teringat saat dirinya memarahi Sephia karena gadis itu akan merokok.

Hari itu, ia merasa penderitaannya jauh lebih berat dari pada Sephia. Tapi, nyatanya ia salah. Penderitaan Sephia yang jauh lebih berat. Dan dirinya adalah salah satu penyebab penderitaan yang dialami gadis itu.

Sudah berapa kali ia meminta pada tuhan untuk menyadarkan Sephia dari komanya? Namun, perlu digaris bawahi bahwa Septyan tak akan pernah menyerah menunggu dan berdo'a untuk Sephia.

Sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Ulang tahunnya tak special sama sekali. Tak ada yang menarik. Bahkan ini jauh lebih buruk dari pada ulang tahun yang sebelumnya.

Septyan mengeluarkan sebuah kertas dan pulpen dari saku jaketnya. Sadboy bernama Septyan itu, kini telah menjadi sosok lelaki yang puitis, yang selalu membawa note dan pulpen kemanapun ia pergi.

Sephia Isyanna Lovaileen. Cewek pendek yang selalu bikin gue darah tinggi, cewek paling nyebelin yang pernah gue temui, dan cewek aneh yang bikin gue jatuh hati.

Begitulah yang ditulis Septyan di kertasnya. Nama Sephia terus menerus terngiang di kepalanya. Ia hampir gila karena Sephia tak kunjung terbangun dari koma.

Ditulis di kertas, disaksikan oleh langit, dan sampai pada tuhan. Tapi ingat, bukan, bahwa langit malam ini begitu kelam?. Entah langit kelam itu tengah menertawakan kesedihan Septyan, atau turut sedih karena tak rela kehilangan gadis yang tempo hari pernah menatap langit dengan bahagia, padahal setumpuk masalah mengerubungi otaknya.

"Gue kangen, pengen peluk lo lagi," kekeh Septyan seraya menatap tempat kosong di sebelahnya.

-

1015 kata.

Sampai jumpa di lembar selanjutnya.

Peluka(n) [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang