Sudah seminggu sejak kepergian Brama Kusuma—papanya—, Sephia memutuskan untuk masuk sekolah. Ia tak masuk selama seminggu tanpa izin, kemungkinan ia akan diskors atau bahkan dikeluarkan dari sekolah.
Sephia melangkahkan kaki keluar dari rumah barunya. Ya, rumah baru. Sekarang Sephia tinggal sendiri di rumah yang kecil. Gadis itu menjual semua harta peninggalan Brama. Perusahaan, rumah, mobil, semua ia jual. Semua yang dulu bekerja di rumahnya terpaksa ia pecat, termasuk Mbok Endang.
Entah sampai kapan Sephia akan bertahan dengan uang peninggalan papanya. Mungkin dirinya akan mati kelaparan. Tapi, itu lebih baik dari pada harus hidup namun menyusahkan orang lain.
Kembali ke Sephia yang telah siap berangkat ke sekolah. Gadis itu berjalan melewati gang untuk menuju jalan besar. Setelah sampai di jalan besar, ia berjalan ke halte untuk menunggu angkot yang lewat.
Baru satu menit Sephia duduk di halte, ia melihat seseorang berhenti di depannya. Tentu ia mengenali orang tersebut. Sephia membuang muka dan merotasi bola matanya.
"Hai, Sephia!" Septyan yang baru saja datang, langsung duduk di samping gadis tersebut.
"Maaf, ya, waktu itu gue gak dateng. Gue nyesel banget. Tapi, lo gak kenapa-kenapa, kan?" tanya Septyan peduli.
Sephia menghela napas, kemudian tersenyum dengan paksa. "Septyan Nagasaki, dengerin gue. Gak usah sok peduli sama gue, gue tau lo cuma kasihan, dan gue gak butuh dikasihanin."
"Sep, gak git—"
"Gue juga gak mungkin maksa lo untuk terus ada buat gue, sementara lo milik orang lain. Gue sadar diri kok." Sephia tersenyum.
Septyan sedikit tercengang mendengar perkataan Sephia. Ia sadar dirinya salah karena memilih Radea. Tapi, ayolah.
"Kenapa lo gak bisa ngertiin gue, sih, Sep?" tanya Septyan.
"Gue ngertiin lo kok. Makanya, sekarang gue biarin lo ngelakuin semua hal yang lo mau. Lo bebas pacaran sama cewek lo tanpa harus sok peduli sama gue kaya gini," ujar Sephia sinis.
Septyan berdecak. "Berhenti kaya gini. Gue peduli sama lo, Sephia!" sentaknya.
"Peduli apanya? Lo gak dateng ke pemakaman Papa gue sama sekali, lo gak tau, kan, gue sehancur apa?!" Sephia menyentak balik.
"Tapi, lo tau alasannya! Kenapa lo gak bisa maklumin gue?"
"Gue maklum, gue tau lo gak mau kehilangan satu-satunya cewek yang lo sayang di dunia ini. Itu, kan, yang mau lo denger?!" Nada bicara Sephia semakin meninggi.
"Gue dateng ke sini baik-baik, gue mau minta maaf!"
"Buat apa minta maaf? Di sini gue yang salah, gue yang terlalu berharap sama lo. Gue pikir lo bakal selalu ada buat gue, tapi ternyata gue salah."
"Gue gak ber—"
"Lo mau bilang, lo gak bermaksud nyakitin gue gitu? Iya?!"
"Gue gak mungkin ngelepas orang yang nerima gue apa adanya, nerima gue di saat dunia jauhin gue. Lo gak ngerti rasanya, Sep!"
"Lo juga gak ngerti perasaan gue pas lo gak dateng ke pemakaman Papa gue, kan, Yan? Lo tau gak gue nunggu? Lo tau, gak?!"
"Gue juga pengen bahagia. Jangan egois, jangan mikirin perasaan lo sendiri. Berhenti bersikap seolah-olah lo itu yang paling menderita di dunia ini!"
"Oke, ngejauh dari gue biar hidup lo gak menderita lagi," pungkas Sephia menekankan kata-katanya.
"Tapi, gak git—"
"Ssstt, udah. Angkotnya udah dateng, gue mau berangkat sekolah. See you." Sephia memotong ucapan Septyan. Ia berdiri dan berjalan ke tepi jalan raya into memberhentikan angkot yang lewat. Ia sempat tersenyum pada Septyan, mungkin untuk yang terakhir kalinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Peluka(n) [END]
Fiksi Remaja-Pelukan dari sang penggores luka paling dalam- *** Di mata orang, Sephia dan Septyan itu berbeda. Sephia dianggap sebagai gadis yang beruntung, padahal gadis itu sedang berusaha mengembalikan keharmonisan keluarganya. Sementara Septyan, hidupnya ta...