Sheet 12

46 15 0
                                        

Bunga-bunga tertata rapi, di dalam maupun di depan toko. Bau harum semerbak bercampur aduk. Warna warni bunga terlihat indah di pandang mata. Sephia takjub melihat tempat bertuliskan 'Toko Bunga Albie' yang ada di hadapannya.

"Ini tempat kerja lo?" tanya Sephia usai turun dari motor Septyan. Toko bunga ini memang kecil, namun terlihat nyaman, apalagi dengan tembok bercat putih yang terlihat natural.

"Iya," jawab Septyan singkat. Lelaki itu memasuki toko tersebut usai memarkirkan motornya di samping toko.

"Assalamu'alaikum," seru Septyan.

"Wa'alaikumussalam."

Sephia mendengar suara renta itu. Mungkin suara dari seorang nenek-nenek. Benar saja, tak lama, ia melihat seorang nenek menghampiri Septyan. Septyan pun menyalimi nenek tersebut.

Nenek itu menolehkan kepalanya pada Sephia. Sephia tersenyum sesopan mungkin untuk menganggapi si nenek.

"Eh, itu temen kamu? Ajak masuk, dong," ucap nenek itu dengan ramah.

"Gak usah, Nek." Septyan menatap Sephia dengan sinis. Sephia pun melakukan hal yang sama, mereka sama-sama mengangkat bendera perang yang telah lama berkibar.

"Loh, jangan begitu. Dia itu tamu. Ayo, masuk dulu, Nak." Nenek itu menghampiri Sephia yang berada beberapa meter di depan toko.

Sephia tersenyum penuh kemenangan, sementara Septyan berdecak melihat itu. Nenek itu tidak tahu saja bahwa mereka adalah musuh bebuyutan.

Sephia menunduk sambil berterima kasih pada sang nenek. "Terima kasih," ucapnya formal.

Sang nenek tersenyum. Wanita tua itu mengajak Sephia masuk ke dalam toko sekaligus rumahnya.

Hal yang pertama kali dirasakan Sephia saat memasuki rumah nenek itu adalah tenang. Nuansa rumah ini tidak terlalu modern, namun membuat hati damai. Apalagi berbagai macam tanaman yang digantung di temboknya, membuat Sephia serasa berada di dunia fantasi. Oh, apa itu berlebihan? Tapi, Sephia benar-benar merasakan suasana baru.

Sebenarnya ini hanyalah ruang depan untuk tempat berjualan, bukan 'rumah' yang ditinggali oleh nenek itu.

"Duduk sini dulu, Nenek buatkan teh." Ucapan nenek itu membuyarkan lamunan Sephia.

Sephia yang tadinya melihat tiap sudut ruangan ini, lantas menoleh pada sang nenek.

"E-eh, gak perlu, Nek." Sephia menolak.

"Loh, jangan begitu. Anggap saja ini rumahmu sendiri," ucap nenek itu. "Duduk dulu."

"Gak perlu repot-repot, Nek. Saya cuma mau nemenin Septyan aja kok," balas Sephia lembut.

Septyan meletakkan tasnya di atas meja, kemudian duduk di salah satu kursi rotan. Rasanya, Septyan ingin muntah mendengar kata-kata itu. Pencitraan sekali.

"Oh, ya sudah kalau begitu. Kalau ada apa-apa, bilang ke Nenek atau Septyan. Jangan sungkan," ucap nenek itu.

"Sekali lagi, terima kasih."

"Iyaa. Oh, ya. Nama Nenek, Nek Albie, pemilik toko ini," ucap nenek tua yang sekarang Sephia tahu bernama Nek Albie.

"Saya Sephia, Nek. Temannya Septyan," balas Sephia.

"Cantik, ya. Kamu orang pertama yang Septyan ajak ke sini, loh." Nek Albie tersenyum dengan manis. Sephia rasa, Nek Albie adalah primadona semasa muda.

Sephia tersipu malu. "Nenek juga cantik."

"Oh, iya. Ayo, dilanjut ngobrolnya, Nenek mau tidur," ucap Nek Albie.

Peluka(n) [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang