Sheet 27

40 9 1
                                    

Kaki-kaki Belia berlari menyusuri koridor rumah sakit. Hentakannya terdengar nyaring bersamaan dengan isakannya. Gadis itu berlari menuju UGD rumah sakit dengan panik.

Sesampainya di sana, ia melihat Septyan tengah duduk di depan UGD seraya menangis. Ini benar, Belia benar-benar melihat Septyan menangis.

"Lo apain Sephia, hah?!" Tanpa aba-aba, Belia mendorong tubuh Septyan hingga lelaki itu hampir jatuh karena tidak siap.

Septyan langsung mengarahkan pandangannya pada Belia. Namun, tatapannya kosong. Lelaki itu tak menyangkal bahwa ini semua kesalahannya. Bukan ia yang membunuh, tapi dirinya yang menjadi alasan Sephia bunuh diri.

"Pembunuh lo! Jahat! Gak punya hati!" Belia terus menerus memukul tubuh Septyan sambil menangis. Ia menyalahkan lelaki itu atas semua yang terjadi.

"Lo tega bunuh sahabat gue!" Belia berteriak lagi.

Tiba-tiba, salah satu suster mendatangi mereka dan berkata, "Maaf, Mba. Ini rumah sakit. Kalau mba masih berisik, silakan keluar."

Beberapa saat kemudian, Belia tak lagi berteriak. Gadis itu duduk di kursi seraya menutup wajahnya. Ia menangis tak percaya. Baru tadi pagi ia memarahi Sephia, sekarang gadis itu tengah berada di bawah penanganan dokter.

Ia menduga bahwa Septyan adalah pelakunya, karena lelaki itu yang meneleponnya tadi. Septyan memberi tahu bahwa Sephia sekarat di rumah sakit, dan ia yakin penyebabnya adalah Septyan.

"Lo apain sahabat gue, Yan?" isaknya pelan.

"Setelah apa yang lo lakuin ke dia, lo gak malu bilang gitu?" tanya Septyan sinis tanpa sedikit pun menatap lawan bicaranya.

"Maksud lo apa?"

"Lo gak inget, lo yang jauhin Sephia akhir-akhir ini."

"Tapi, itu semua juga gara-gara lo. Dasar psikopat!"

"Gue gak pernah minta lo benci sama gue!"

Belia mendadak gugup. Bibirnya bergetar, ia tak tahu harus menjawab apa. "Tapi, lo juga salah!" ucapnya gugup.

"Sephia! Di mana Sephia?!" Seseorang tiba-tiba datang dan meneriaki nama Sephia berkali-kali.

"Tante!" Belia yang tadinya duduk, kini berdiri dan memeluk Elena-wanita yang baru saja datang.

Belia dan Elena saling berpelukan. Isakan mereka tak terelakkan. Mereka menangisi Sephia yang kini tengah berjuang untuk sadar.

Sesaat setelah berpelukan, Elena melepas pelukan tersebut dan beralih mendekati Septyan dengan wajahnya yang basah.

"Pasti kamu, kan, yang bikin anak saya celaka?!" Kini giliran Elena yang menyalahkan Septyan.

Septyan hanya tertunduk mendengarnya.

"Kamu dan ayah kamu sama-sama pembunuh! Keluarga gak tau malu!"

Septyan langsung menoleh ke arah Elena dengan cepat, sesaat setelah wanita itu menyelesaikan ucapannya.

"Jangan bawa-bawah ayah saya. Kenapa anda tidak introspeksi diri? Kemana anda waktu Sephia bunuh diri?!" tanya Septyan emosi.

Sedari tadi lelaki itu tengah sedih dan berduka, namun dirinya masih saja difitnah.

Elena terhenyak saat mendengar ucapan Septyan. Kemudian, wanita itu kembali menangis seraya menutup wajahnya. Belia yang ada di sana, langsung duduk di samping Elena dan menenangkan wanita itu.

"Tante ... Tante pergi dari rumah sejak 2 bulan yang lalu." Sesal sudah tak berguna sekarang ini. Semua sudah terjadi.

Mendengar hal tersebut, Septyan menahan geram. "Kenapa Tante pergi?! Tante tau, kan, suami Tante meninggal dunia?!" tanya Septyan.

Elena hanya menunduk. Sesal benar-benar merundung dadanya. "Tante bener-bener gak tau akhirnya bakal kaya gini," tuturnya.

"Anda ini seorang ibu. Kenapa anda tega meninggalkan Sephia sendirian?!" balas Septyan tak terima.

Ia benar-benar baru tahu bahwa Elena sudah pergi meninggalkan Sephia sejak lama. Kalau tahu begini, ia tak akan tega menjauhi Sephia sekian lamanya.

"M-maafin Belia, Tante. Belia salah." Belia memeluk Elena dari samping, meskipun wanita itu tak memberinya balasan.

Tiba-tiba, terdengar suara pintu terbuka. Sontak, pandangan Elena, Belia, dan Septyan menoleh ke sumber suara. Rupanya, seorang dokter telah keluar dari UGD.

Baru saja Septyan hendak berdiri, namun Elena telah terlebih dahulu menghampiri dokter tersebut.

"Dok, gimana keadaan anak saya, Dok?!" tanya wanita yang mengenakan tas brandit itu.

"Mohon maaf, tapi anak Ibu sedang kritis. Kondisinya memprihatinkan, pasien kehilangan banyak darah. Untung saja ada stok kantung darah yang cocok dengan darah anak Ibu," papar dokter bernama Hamdan itu.

"Boleh saya jenguk anak saya?" Elena bertanya lagi.

Dokter Hamdan menghela napas. "Pasien belum bisa dijenguk sekarang. Oh, ya. Setelah dia bisa melewati masa kritisnya, kemungkinan pasien akan mengalami koma. Saya tidak tau apa yang pasien alami sehingga mencoba bunuh diri, tapi saya turut prihatin atas apa yang terjadi."

Mata Elena berkaca lagi. Wanita itu luruh dan jatuh di lantai dengan tatapan tak percaya. Belia pun sama terkejutnya. Gadis itu mendekati Elena dan memeluknya. Lagi dan lagi mereka menangis.

Sementara itu, Septyan merasa sesak menghimpit seluruh dadanya. Ia meneteskan air mata tanpa suara. Memang benar, menangis tanpa suara itu menyakitkan.

***

Di kantin rumah sakit yang tak begitu ramai, di sinilah tempat Septyan sekarang. Lelaki itu melamun tanpa berniat memakan makanan yang tersaji di hadapannya.

"G-gue minta maaf." Suara lembut Belia hanya mengalihkan sedikit perhatian dari Septyan. Septyan bahkan tak sadar kapan gadis itu datang.

"Sorry," ucap Belia lagi.

"Harusnya lo minta maaf ke Sephia," balas Septyan datar.

Belia mendadak diam membisu. Wajah gadis itu masih sembab karena menangis terlalu lama.

"Gue gak ngerti sama diri gue sendiri, Yan." Belia berbicara sendiri. "Kenapa gue harus jauhin orang yang baik banget sama gue?"

"Itu karena lo mau bahagia sendiri, bukan bahagia sama orang lain. Perlu lo tau, lo itu egois." Septyan tak menatap sedikit pun ke arah Belia.

Sesaat kemudian, Belia kembali menumpahkan air matanya. Cengeng memang.

"Gue takut Sephia ninggalin kita," isak gadis itu.

"Berhenti ngomong gitu, atau gue bunuh lo!" ancam Septyan. Lelaki itu tak suka mendengar perkataan Belia yang barusan.

"Bunuh gue, kalo itu bisa nebus semua kesalahan gue." Belia justru bersedia. "Kata Tante Elena, Tante Elena ninggalin Sephia sama Om Brama karena mereka cerai. Tapi, Om Brama meninggal dan ngebuat Sephia terpaksa jual harta warisan biar tetep hidup. Bodoh, harusnya gue gak egois dari awal. Kenapa wak-"

Septyan berdecak malas. "Gak usah playing victim." Pedas! Tapi, kenyataannya Belia serius, ia benar-benar ingin menebus kesalahannya.

Tak lama setelah itu, Septyan bangkit dari kursinya dan pergi meninggalkan kantin rumah sakit. Cukup, dirinya terlalu sakit mendengar apa yang diucapkan Belia tadi.

Jadi, selama ini Sephia hidup tanpa ibu. Septyan bodoh karena meninggalkan gadis seperti Sephia berjuang sendirian. Seharusnya ia tak menyangkal perasaan cintanya pada Sephia, hanya karena dirinya menyukai Radea dalam sekejap.

Tiba-tiba, Septyan teringat sesuatu. Lelaki itu bergegas pergi dari rumah sakit. Ia melupakan pemakaman Radea sore ini. Benar-benar hari yang buruk.

Ia harap, Sephia tak menyusul Radea.

-

1034 kata.

Sampai jumpa di lembar selanjutnya.

Peluka(n) [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang