Pagi menjelang siang. Di jam istirahat hari ini, Sephia berniat menraktir Septyan sebagai tanda balas budi. Biar bagaimanapun, Septyan telah membuatnya merasa lebih baik, jadi tak ada salahnya balas budi, meski setiap harinya hanya diisi pertengkaran-pertengkaran tak bermutu di antara mereka.
Sephia berjalan menghampiri Septyan, namun sebelum itu, tangan Belia mencekalnya. Sephia menoleh.
"Apa?" tanya Sephia.
"Lo jangan deket-deket lagi sama dia, gue takut lo ikut kena dampak kalo deket sama dia." Belia berbisik, takut di dengar oleh orang yang ia maksud sebagai 'dia'.
Sephia memutar bola matanya malas sembari berdecak. "Ck! Tumben lo gak pacaran?" balas Sephia out of topic.
Belia menghela napas kasar. "Sephiaaa .... gue ini ngomong serius. Gue gak mau sampe lo ikut dijauhin orang-orang karena lo deket sama dia," ujar Belia.
Hah? Dijauhi? Sejak pertama kali Sephia bersekolah di sini, tidak ada yang benar-benar tulus berteman dengannya, selain Belia dan Septyan, itupun jika Septyan memang menganggap Sephia sebagai teman. Sedangkan Belia, sekarang gadis itu pun mulai menjauh—ralat—bukan menjauh, melainkan mengabaikan Sephia karena pacar barunya.
Sementara yang lainnya? Orang-orang yang mengaku sebagai teman Sephia, mereka kebanyakan palsu. Hanya menginginkan harta dan kepopuleran yang Sephia miliki. Wajar saja, Sephia itu seperti selebriti, namun tidak sadar bahwa dirinya adalah selebriti.
"Udah, ya, Bel. Gue mau ke kantin dulu. Lo gak mau ke kantin sama Kak Artha?" tanya Sephia.
"Kak Artha lagi sibuk ngurus acara persiapan bazar sekolah," jawab Belia. Sephia mengangguk. Artha itu wakil ketua OSIS, jadi tak heran bahwa lelaki itu sibuk mengurus acara yang rutin digelar setiap tahun di sekolah.
"Gue mau ngantin, bye!" tukas Sephia.
"Eh, Asepwati! Lo kok gitu, sih?!" Decakan terdengar dari mulut Belia.
Sephia tak menjawab, gadis itu berjalan menuju meja Septyan, kemudian berdiri di depan bangku lelaki itu.
Septyan tampaknya sedang melamun, karena ia sama sekali tak menoleh saat Sephia datang. Sephia lantas menjentikkan jarinya di depan wajah Septyan.
"Heh!" ucap Sephia bersamaan dengan bunyi jentikan jarinya.
Untung saja Septyan tersadar dari lamunannya. "Hah?" tanyanya kaget.
"Ke kantin, yok. Gue traktir," tawar Sephia.
Septyan menggeleng. "Lo aja, gue males."
"Lah, kenapa?" tanya Sephia. Memutar otak, gadis itu menyentuh kening Septyan menggunakan punggung tangannya.
"Gak panas, tuh," ucapnya.
Dari kejauhan, Belia menatap kejadian itu dengan geram. Bisa-bisanya Sephia melakukan hal itu. Maksudnya, sama sekali tidak takut dengan Septyan yang notabene-nya adalah anak seorang narapidana. Sepertinya Sephia memang bosan hidup. Ditambah, bukan hanya Belia yang melihat itu, melainkan seisi kelas.
"Siapa bilang gue sakit?" tanya Septyan cuek.
Sephia mengangkat salah satu alisnya heran lalu berkata, "Terus kenapa lo gak mau ke kantin? Biasanya kalo istirahat gini, lo udah ngacir ke kantin duluan," ucap Sephia.
Memang kenyataannya begitu. Saat bel istirahat berbunyi, Septyan akan ke kantin untuk membeli makanan, kemudian membawanya ke kelas. Bukan apa, tapi tak ada di antara siswa siswi SMA Gema Budhaya yang mau duduk semeja dengan Septyan. Septyan pun tak mau memalak tempat, hingga akhirnya ia memilih untuk mengalah saja dan makan di kelas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Peluka(n) [END]
Jugendliteratur-Pelukan dari sang penggores luka paling dalam- *** Di mata orang, Sephia dan Septyan itu berbeda. Sephia dianggap sebagai gadis yang beruntung, padahal gadis itu sedang berusaha mengembalikan keharmonisan keluarganya. Sementara Septyan, hidupnya ta...