Sheet 4

84 19 6
                                        

Kaki bersepatu Sephia mengayun secara bergantian. Di halte tempat jedanya bus, gadis bermanik sedikit kecoklatan itu menengok ke sana kemari, barangkali ada bus lewat.

Hampir satu jam Sephia duduk sendirian di sini. Biasanya, Elena yang akan menjemputnya, tapi hari ini wanita itu tidak datang. Sephia bosan menunggu.

Jika kalian bertanya mengapa Sephia tak pernah pulang menggunakan sopir pribadi atau semacamnya, itu karena Sephia sendiri yang ingin dijemput oleh sang ibunda. Meskipun orang melihatnya sebagai sebuah keanehan, menurut Sephia itu biasa saja.

Sebenarnya wajar, orang mengira Sephia aneh. Lihatlah, gadis itu adalah anak pengusaha yang perusahaannya memiliki cabang bagai akar, memiliki rumah megah bagai istana, hidupnya sempurna, tapi tak pernah pulang dengan sopir rumah.

Entah, Sephia tak peduli akan pertanyaan atau pernyataan seperti itu. Ia nyaman begini, pergi pulang dengan Elena. Meskipun sekarang wanita itu belum ada kabar, Sephia masih berharap ia dijemput ibunya.

Sephia beberapa kali melirik ponsel, siapa tahu ibunya menghubunginya. Tapi nihil, hanya ada notif dari Belia yang terus menanyakan apa dirinya sudah pulang.

Tadi, Sephia ditawari pulang bersama Belia, tapi gadis itu menolak. Tentu Sephia tak ingin Belia datang ke rumahnya. Mereka selalu terlihat seperti sahabat di semua tempat, kecuali di rumah Sephia. Itu karena Belia memang tak pernah datang ke rumah gadis itu.

Sephia menggeser tubuhnya ke pojok halte untuk bersandar. Ia lelah. Apa ia harus berjalan? Sebab sampai sekarang, belum ada kendaraan umum lewat.

15 menit berlalu. Terdengar bunyi dangdutan—maksudnya keroncongan. Sephia memegangi perutnya. Ia merogoh saku roknya untuk memeriksa uang, memastikan saja barangkali hilang.

Ia bangkit, hendak membeli siomay yang ada di seberang jalan. Tapi, tiba-tiba seplastik roti disodorkan di depannya. Ia refleks berhenti dan menoleh, melihat siapa yang memberikan roti itu.

"Apa?" tanya Sephia judes. Sephia masih tak terima dihukum beberapa hari yang lalu.

"Buat lo, sebagai permintaan maaf karena gue udah bikin lo masuk UKS kemarin," balas Septyan seadanya.

Sephia menggeleng tak mau. "Gak, gue gak laper." Bohong!

"Gengsi cepet mati." Septyan meraih tangan Sephia. Roti yang ada di tangannya beralih di tangan Sephia.

"Lo keras kepala banget, sih?!" ketus Sephia tak suka.

"Kalo lembek, namanya bukan kepala tapi adonan roti."

"Yaudah, jadi adonan roti aja biar gue makan lo." Sephia gemas, ia menatap Septyan seakan mengibarkan bendera perang.

Septyan terkekeh. "Makan dulu, entar gue anterin pulang."

"Gue bisa pulang sendiri!" Lihat, siapa yang keras kepala di sini.

"Kalo lo diculik om-om gimana? Kasian." Septyan bertanya dengan alis terangkat satu.

"Ngapain kasian sama gue?" balas Sephia sengit.

"Gue kasian sama om-omnya, soalnya dia nyulik yang bentukan kaya lo. Yah, nyulik yang bagusan dikitlah."

Sephia sontak memukul tangan Septyan dengan keras. "Kalo ngomong dijaga, ya!"

"Buruan dimakan biar cepet gede. Kek upin lo, kecil mulu." Septyan hanya berniat meminta maaf. Tapi, seperti kelihatannya, Septyan gengsi mengucapkan kata itu.

Sephia berdecak. Kepalanya menoleh, seperti mencari sesuatu. Sesaat kemudian, ia menemukannya. Sephia lantas melangkah, meninggalkan Septyan di tempatnya.

Peluka(n) [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang