Sheet 6

61 14 0
                                    

Saat ini, mereka tengah berada di rooftop sekolah, salah satu tempat paling sepi di antara yang lain. Jika sekolah lain memiliki rooftop sebagai tempat berkumpulnya para bad boy atau bad girl, tidak dengan SMA Gema Budhaya.

Seperti yang terlihat, Septyan duduk di samping Sephia. Gadis itu masih menangis, Septyan menunggunya hingga tenang. Tadinya, Septyan mengajak Sephia ke UKS, namun gadis itu menolak. Jadi, Septyan mengajaknya kemari.

Tak lama, keadaan mulai menghening. Hanya suara burung bercicit yang terbang di atas mereka. Sephia masih tak kunjung mendongakkan kepal. Tampaknya gadis itu mulai tenang, meski punggungnya masih sedikit bergetar.

"Lo kenapa? Nangis tiba-tiba, bocah banget." Septyan berkata asal.

Sephia lantas mengangkat kepalanya, menatap Septyan dari samping. Gadis itu sebal. Bukannya dihibur, dirinya justru diejek seperti bocah.

"Lo juga kenapa, biasanya banyak tingkah, hari ini diem aja. Sembelit lo?" sembur Sephia balik dengan suara yang parau.

"Gue nanya, lo jangan balik nanya."

Kebiasaan mereka tak berhenti meskipun dalam keadaan sedih seperti ini. Suara Sephia saja masih parau karena habis menangis. Tapi, mereka tetaplah mereka.

Hening, Sephia sebal.

"Cerita aja, gue gak keberatan," ucap Septyan memangkas diam ini.

Sephia tersenyum. Namun, beberapa detik setelahnya, matanya berkaca. Ia ingin menangis, lagi. Memang benar bahwa Sephia cengeng, Septyan pun sudah tak heran.

"Gue cinta sama seseorang, tapi orang itu sekarang jadi pacar sahabat gue. Gue gak ada hak buat marah. Tapi, kenapa ... kenapa harus sahabat gue?" Sephia terisak dengan lirih, tak lupa dengan kedua tangan yang menutup wajah.

Septyan menghela napas. Ia mengulurkan tangannya, meraih kepala Sephia. Septyan menghadapkan kepala gadis itu tepat di depannya. Septyan merapikan rambut Sephia perlahan. Rambut Sephia basah karena air mata. Gadis itu terlihat menyedihkan saat ini.

"Dengerin gue. Kalo dia emang ditakdirin buat lo, mau sahabat lo atau siapapun itu deket banget sama dia, pada akhirnya ... dia akan jadi milik lo. Dan sebaliknya, kalo dia gak ditakdirin buat lo, sekalipun lo jungkir balik, gulung-gulung, terjun ke jurang buat dapetin dia, dia gak akan pernah jadi milik lo seutuhnya."

Sephia terhenyak. Napasnya masih tersengal. Ia masih memejamkan mata, menahan sesak yang menghimpit dadanya.

Artha itu pujaan hati Sephia sejak ia masuk sekolah ini. Tapi, seolah luput dari pandangan Sephia, Artha jadian dengan Belia yang notabene-nya adalah sahabatnya sendiri.

"Sakit banget, Yan. Gue masih gak habis pikir." Tangisan Sephia sedikit mereda.

"Yaudah, gak usah dipikirin biar gak habis-habis. Ribet amat."

"Septyan!" sentak Sephia.

Septyan berdecak malas. "Iya-iyaa."

"Terus sekarang, lo mau gimana?" Lelaki itu bertanya sambil menatap Sephia, sedangkan Sephia menundukkan kepalanya putus asa.

"Terpaksa, gue harus lupain dia dan biarin dia bahagia sama sahabat gue."

Septyan mengacak kepala Sephia dengan gemas. Bibirnya terangkat menandakan ia tersenyum senang.

"Good girl. Lain kali jangan nangis lagi, lo tambah jelek soalnya, takut gak ada yang mau sama lo." Ia terkekeh.

"Lo sendiri kenapa cuek tadi pagi? Lo sakit?" Sephia bertanya balik.

Peluka(n) [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang