Sheet 7

52 15 0
                                    

Bel pulang sekolah sudah berbunyi sejak beberapa waktu lalu. Sephia baru selesai menjalankan hukumannya karena bolos pelajaran, sehingga ia harus pulang terlambat, untung saja Belia mau menunggunya.

Kaki Sephia dan Belia berjalan beriringan. Di tengah sunyinya suasana sekolah yang telah ditinggalkan oleh para warganya, kedua gadis itu melangkah menuju gerbang untuk keluar dan pulang.

"Kok lo gak ke kantin tadi? Gue nunggu padahal," tanya Belia.

"Gue sakit." Sephia cuek.

"Kalo sakit, ngapain sekolah?" ucap Belia dengan nada tak suka.

"G-gue ... yaa, gue ... gamau ketinggalan pelajaran aja. Lo tau, kan, otak gue ini pas-pasan. Kalo gak masuk sekolah, bisa-bisa begonya makin mendarah daging." Sephia gugup.

Belia meletakkan punggung tangannya ke kepala Sephia. Kaki Sephia refleks terhenti.

"Badan lo gak panas. Lo bohong, ya? Bilang aja, tadi lo males ke kantin gara-gara kantin rame." Belia menuduh sahabatnya pemalas.

Sephia merutuki dirinya sendiri. Kenapa ia harus bilang bahwa dirinya sakit saat Belia menanyakan alasannya tidak pergi ke kantin.

"K-kan yang sakit perut gue, mules tadi, di kamar mandi lama banget, hehe." Sephia berusaha membuat Belia percaya.

Belia memicingkan mata, seakan curiga pada gadis yang berdiri di sampingnya itu. Sephia menelan ludah dengan susah payah. Ia tak mungkin mengatakan, ia sudah pergi ke kantin, namun dirinya kembali karena cemburu melihat sahabatnya sedang berdua dengan orang yang ia sukai.

"Umm, oke. Sampe rumah, minum obat. Kalo lo sakit, gak ada yang peduli sama lo. Lo jomblo soalnya."

Sephia menghela napas. Belia percaya, namun kalimat terakhir gadis itu membuat Sephia muntab.

"Mentang-mentang punya pacar, sekarang ngehina temen. Gak inget dulu kita pernah hunting cogan bareng?"

Mendengar pertanyaan Sephia, Belia menggaruk kepala dan tersenyum dengan paksa.

"Sorry. Lo, sih, gak jadi ke kantin, tapi gak ngabarin padahal gue nunggu."

Deheman Sephia menjawab ucapan Belia.

"Terus, kok lo bisa dihukum bareng dia?" tanya Belia.

"Dia? Septyan maksud lo?" tanya Sephia memastikan. Sebab, tadi ia dihukum membersihkan teras kelas 11 dengan Septyan.

Belia mengangguk dengan pelan, seakan mereka tengah diintai oleh seseorang.

"Jangan nyebut namanya," ucap Belia.

Sephia menyerngit tak paham. "Kenapa, sih? Kenapa kalian semua seakan phobia sama Septyan? Karena bapaknya itu pembunuh?"

Belia mengangguk lagi. "Pamali."

Plak

Sephia sontak menabok mulut Belia dengan pelan. "Pamali pala lo! Mana ada pamali kaya gitu! Lagi pula, kenapa harus takut sama cowok nyebelin kaya Septyan? Tampangnya doang yang kaya pembunuh, hatinya, mah ... beuhh ...."

"Baik?" tanya Belia sembari menutup mulut dengan tangan.

"Seperti syaiton."

Belia langsung menatap Sephia datar. Ia kira, Sephia akan mengatakan bahwa Septyan baik.

"Apa lo gak sadar kalo selama ini Septyan itu jahat sama lo? Apa lo gak ngerasa terancam setiap hari deket sama dia? Orang-orang udah pada bicarain lo, Sep. Semua orang khawatir kalo lo bakal jadi korbannya dia." Belia mengecilkan suaranya saat mengucap kata 'Septyan'.

Peluka(n) [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang