Sheet 16

36 14 0
                                        

Seminggu telah berlalu, ujian pertengahan semester usai dilaksanakan. Para murid dapat tersenyum lega, sebagian juga ada yang menyiapkan mental untuk mendapat ceramah kecil-kecilan di rumah.

Untuk mengisi masa luang sebelum penerimaan hasil ujian, sekolah mengadakan bazar makanan. Bazar ini dilakukan di lapangan terbuka yang telah disewa oleh kepala sekolah Gema Budhaya. Bukan para murid yang berjualan, melainkan para guru, meskipun tentunya dibantu oleh anggota OSIS. Unik, apalagi bazar ini digabung dengan sekolah sebelah yang terbilang 'kaya akan cogan dan cecan'.

Sephia tentu tak menyia-nyiakan kesempatan ini. Banyak sekali lelaki dengan paras menawan dari sekolah sebelah yang datang ke bazar ramai ini. SMA Gemintang, sekolah ini tak jauh beda dengan Gema Budhaya. Sekolah favorite juga di kota ini.

"Yan, lo mau beli makanan gak?" tanya Sephia.

Saat ini Sephia dan Septyan tengah berjalan di tengah bazar yang ramai ini. Stand makanan berjejer, dipenuhi para murid yang mengantre untuk membeli makanan, juga meja makan yang telah disediakan oleh panitia, tertata rapi dan hampir semuanya penuh, tak ada tempat tersisa. Wajar, saat sekolah ini digabungkan, ada lebih dari 500 murid, belum lagi pengunjung yang datang dari luar.

"Gak, nanti aja. Masih rame banget," balas Septyan.

"Yaudah, lo cari tempat duduk, gue beli minum dulu." Septyan mengangguk menanggapinya.

Akhirnya, Sephia pergi untuk membeli minuman, sementara Septyan mengedarkan pandangan untuk mencari tempat kosong. Tak lama, lelaki itu melihat tempat kosong di area luar lapangan. Tak ada meja, hanya sebuah pohon sebagai peneduh. Septyan lantas berjalan ke arah tempat itu.

Saat ia berjalan, salah satu gerombolan siswi dari SMA Gemintang menatapnya dengan intens. Septyan pun balik menatap mereka.

"Itu yang katanya anak napi itu, kan? Siapa namanya?" tanya salah satu siswi.

"Septyan." Yang lain menjawab.

"Liat, deh. Orangnya gak cakep, tapi sok ganteng. Jijik banget gak, sih?" tanya siswi yang lainnya dengan wajah sok muntah.

"Idih banget. Untung dia gak sekolah di Gemintang," imbuh yang lainnya lagi.

Apa mereka tidak berpikir, perkataan mereka itu bisa menyakiti hati orang lain?

Septyan menghela napas. Ia berjalan dengan langkah santai menuju tempat yang ingin ia tuju. Toh, ia biasa mendapat ejekan seperti itu. Tidak masalah, bukan?

Di tempat lain, Sephia yang telah membayar dua botol minuman dingin, lantas mencari Septyan. Hanya minuman itu yang bisa ia beli dengan cepat, ia malas jika harus menunggu. Yang terpenting, ia tidak kehausan.

Dug

Sephia tak menabrak seseorang. Ia mengangkat kepalanya. Ia hendak mengatakan maaf, tapi saat mengetahui yang ia tabrak adalah Belia, ia memilih untuk diam.

"Asep, lo kemana aja? Gue cariin juga," keluh Belia dengan wajah frustasi.

Sephia merotasi bola matanya. "Tadi malem, kan, udah gue bilang, tunggu gue di depan sekolah, kita ke bazar barengan. Tadi pagi udah gue tungguin lama, taunya lo malah boncengan sama Kak Artha."

"Eh, sorry. Gue lupa, Sep. Gue tadi berangkat bareng Kak Artha," ucap Belia.

"Terus kenapa nyari gue sekarang? Kak Artha mana?" tanya Sephia.

"Kak Artha sibuk." Wajah Belia tampak kecewa. Wajar, Artha adalah salah satu panitia pelaksana bazar ini.

"Lo gak lagi sama cowok itu, kan?" tanya Belia melanjutkan.

Sephia mengerti yang dimaksud Belia. "Iya, gue sama Septyan. Lo mau ikut?"

Belia menggeleng. "Mending muter-muter sama gue, Sep. Kita cobain semua jajanan di sini. Gimana?" tawar Belia.

"Gak, gue mau nyamperin Septyan." Seperti balas dendam, Sephia pun meninggalkan Belia. Belia menatap kepergian sahabatnya itu dengan geram.

"Lama-lama lo makin jauh dari gue, ya, Sep." Belia bergumam dengan hati yang sakit.

Kembali ke Sephia, gadis itu mempercepat langkahnya kala melihat seseorang melambai padanya. Orang itu duduk di bawah pohon rindang, Sephia lantas menghampiri orang itu.

Setelah sampai, Sephia menyodorkan salah satu minuman di tangannya, kemudian duduk di samping Septyan dan menyandarkan tubuhnya pada pohon.

"Sorry lama," ucap Sephia. Septyan berdehem membalasnya.

"Gue jelek banget, ya, Sep?" tanya Septyan tiba-tiba.

"Di rumah lo gak ada kaca, ya?" kekeh Sephia mengejek.

Septyan menghela napas. "Gue burik banget, pantes gak ada yang suka sama gue."

Sephia meneguk minuman dinginnya hingga tersisa setengah botol. Setelahnya, ia membalas ucapan Septyan.

"Lo jelek dan itu bagus," ucap Sephia seraya memasang kembali tutup botol minumannya.

"Lah?" Septyan menoleh menatap gadis di sampingnya.

"Karena saat seseorang mencintai lo, artinya orang itu mencintai lo apa adanya." Sephia tersenyum.

Septyan mengangguk. "Umm, lo pendek dan itu bagus." Lelaki itu bicara seperti Sephia.

"Karena saat seseorang mencintai gue, orang itu mencintai gue apa adanya?" tanya Sephia.

"Bukan, karena dia bisa peluk monyet tanpa harus ke kebun binatang." Septyan membuka minum, kemudian meneguk airnya perlahan.

"Kenapa jadi monyet?" tanya Sephia merasa ini tak masuk akal.

Tak lama, Sephia memukul bahu Septyan dengan keras.

"Uhukk!" Sontak Septyan terbatuk ketika Sephia tiba-tiba memukulnya. Air yang ada di mulutnya pun tersembur keluar. Ia tersedak dan batuk berkali-kali.

"Kok lo nyebelin, sih?!" Gadis itu mendengus setelah menyadari 'monyet' yang dimaksud oleh Septyan.

"Mampus!" Sephia berkata tanpa dosa seraya tertawa melihat temannya itu sengasara.

"Uhuk uhuk!" Septyan masih batuk, tenggorokannya tercekat. Sephia terus menertawakan lelaki itu.

Tiba-tiba, Septyan merasa sebuah tangan menepuk punggungnya dengan pelan.

"Kalo minum pelan-pelan," ucap orang tersebut seraya berusaha meredakan sedakan Septyan. Sephia terdiam menatap kejadian tersebut.

Setelah beberapa saat, akhirnya Septyan merasa lega karena tidak lagi terbatuk-batuk. Septyan kembali meminum airnya dengan pelan lalu menghela napas.

"Makasih," ucap Septyan pada orang yang tadi menolongnya.

"Iya, lain kali kalo minum pelan-pelan," jawab orang tersebut.

"Oh, ya. Nama gue Septyan." Septyan mengulurkan tangannya. Sephia yang melihat itu pun berdecak sinis.

"Gue Radea." Orang itu menyambut uluran tangan Septyan. Mereka bersalaman—dan bertatap-tatapan. Septyan terpesona pada kecantikan gadis itu.

"Ehmm." Sephia berdehem dengan sengaja karena muak melihatnya.

Septyan terlonjak kaget. Ia lantas melepaskan tangannya dari Radea, lalu tersenyum kikuk. Ah, rasanya ia ingin menerkam Sephia karena gadis itu menghancurkan moment indahnya.

"Sep, lo gak kenalan?" tanya Septyan.

Sephia mengulurkan tangannya dengan cuek. "Sephia, dadi SMA Gema."

"Radea, dari SMA Gemi." Radea tersenyum sembari bersalaman dengan Sephia, tak seperti Sephia yang terlihat tak suka dengan kedatangan gadis bernama Radea dari sekolah sebelah itu.

Sephia lantas melepas tangannya dengan cepat. Biasanya ia dapat menerima kehadiran orang baru dengan cepat. Tapi sekarang berbeda, Sephia juga tak tahu mengapa ia tak menyukai gadis itu.

-

1014 word. Jangan lupa vote dan komen.

Sampai jumpa di lembar selanjutnya.

Peluka(n) [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang