Kelas usai dibubarkan siang ini. Sebagian besar para murid mengeluh karena khawatir nilai mereka rendah, dan sebagian yang lain merasa biasa-biasa saja. Pasalnya, ini hari pertama ujian pertengahan semester genap, namun soal yang mereka dapatnya amat susah seperti ujian nasional.
Beruntunglah bagi mereka yang belajar. Ralat! Beruntunglah bagi mereka yang bodo amat dengan nilai. Salah satunya adalah Sephia. Di saat yang lain sibuk mencari kesempatan dan contekan, Sephia menulis jawaban di kertas ujiannya dengan santai.
Kelihatannya memang santai, tapi sebenarnya pikiran gadis itu seperti gunung yang hampir meletus. Tubuhnya di sekolah, namun pikirannya membayangkan kejadian di rumah. Ia takut jika Elena dan Brama benar-benar berpisah, ia tak bisa membayangkan bagaimana masa depannya nanti.
"Asepwati." Belia menepuk bahu Sephia pelan. Namun sepertinya Sephia menanggapinya dengan berlebihan.
"Astaghfirullah, setan!" pekik Sephia yang terkejut. Memang terkejut bukan main, karena sebelumnya ia tengah melamun.
Melihat Sephia yang terkejut, Belia pun turut terkejut. Apalagi setelah mendengar kata yang diucapkan Sephia.
"Mana setan, mana?!" Belia terpelonjak hingga menabrak meja di depan Sephia. Dasarnya Belia memang penakut.
Sephia mengelus dadanya terkejut. "Lo yang ngagetin, kok lo yang kaget."
"Lo, sih!" protes Belia. "Gue cuma manggil, bukan ngagetin."
Sephia menghela napasnya lalu tersenyum dengan dibuat-buat, seakan memaklumi kejadian barusan.
"Napa?" Sephia bertanya.
"Gue balik duluan, ya. mau jalan sama Kak Artha. Awas kalo lo sampe main sama cowok itu lagi," ucap Belia sok bengis.
Sephia memutar bola matanya malas. "Lo sama Kak Artha. Ya, gue berhak sama Septyan."
"Lo boleh sama siapa aja, asal jangan sama Septyan."
"Yaudah, gue sama Kak—"
"Dan Kak Artha!" potong Belia cepat, sebelum Sephia mengatakan hal yang tidak-tidak.
Sephia menatap sahabatnya itu dengan datar. "Yaudah, hari ini lo gak boleh balik duluan. Lo harus temenin gue."
Belia membulatkan mata. "Gue, kan, mau jalan sama Kak Artha."
"Nah, gak bisa penuhin permintaan gue, kan? Gue juga gak bisa penuhin permintaan lo. Jadi, bye!" Sephia mengambil tasnya, lalu beranjak dari tempat duduk.
Belia menggeleng frustasi. "Batu banget, sih, tu anak. Minta digeprek." Ia mendesah frustasi. Setelahnya, gadis itu kembali ke tempatnya untuk membereskan barang-barang.
Memang, saat ujian seperti ini, Belia tidak duduk dengan Sephia, sebab nomor absen mereka selisih jauh dan tempat ujian sesuai dengan nomor absen.
Kembali ke Sephia. Di depan kelasnya, gadis itu menghampiri Septyan.
"Ayo!" Sephia memang berniat ikut Septyan ke tempat kerjanya seperti beberapa hari yang lalu.
Septyan menggeleng. "Pulang aja."
"Loh, kenapa?" tanya Sephia sembari mengernyit.
Tak ada jawaban dari Septyan. Ah, mungkin Sephia tahu alasannya. Ia mengintip dari pintu, ternyata benar, Belia sedang menatap ke arahnya dengan tatapan benci. Sephia lantas kembali menarik kepalanya dan menatap Septyan.
"Gak usah dipikirin. Nanti kalo capek, dia berhenti sendiri. Ayo." Tanpa aba-aba, Sephia menarik tangan Septyan melewati koridor kelas. Tentu mereka tak lepas dari pengamatan para murid di sana.

KAMU SEDANG MEMBACA
Peluka(n) [END]
Teen Fiction-Pelukan dari sang penggores luka paling dalam- *** Di mata orang, Sephia dan Septyan itu berbeda. Sephia dianggap sebagai gadis yang beruntung, padahal gadis itu sedang berusaha mengembalikan keharmonisan keluarganya. Sementara Septyan, hidupnya ta...