"Mulai sekarang, Mama gak perlu lagi antar jemput Sephia. Sephia lebih baik ngelakuin semuanya sendiri dari pada kalian harus ribut," tukas Sephia.
"Enggak, Mama bakal suruh sopir buat jemput kamu. Mama gak mau kamu kenapa-kenapa," balas Elena.
Brama memukul meja makan dengan keras, membuat Elena dan Sephia terkejut bukan main. "Biarkan anak itu mandiri!"
"Dia anak aku, aku berhak ngatur dia." Elena membalas ucapan Brama.
"Jangan memanjakan dia terus! Mau jadi apa dia nanti!" Brama meninggikan nada bicaranya.
"Stop! Sephia bisa ngelakuin semuanya sendiri! Ini cuma masalah sepele, gak usah dibesar-besarin!" Sephia melemparkan sendok yang ada di tangannya ke sembarang tempat, kemudian bangkit dari kursi makan yang semula ia duduki.
"Masalah sepele kamu bilang? Dasar anak gak tau diri!" teriak Brama, namun tak mendapat respon apapun dari Sephia.
Gadis itu meninggalkan ruang makan. Kaki Sephia menaiki tangga menuju kamar. Karena makan malam di ruang makan yang sama sekali tak mengenakkan ini, Sephia jadi tak nafsu untuk menghabiskan makanannya dan memilih untuk pergi ke kamar saja.
Sungguh, rasanya Sephia ingin terus berada di luar dari pada di rumah seperti ini. Tapi, ia juga tak bisa membiarkan pertengkaran itu terus terjadi. Ini sangat memuakkan. Seperti pepatah, hidup segan, mati tak mau.
Menaiki tangga, tinggal beberapa meter lagi ia sampai di kamarnya. Bukannya berjalan cepat masuk ke kamar, ia justru mematung di atas tangga. Ia melihat ke bawah dengan tajam. Barang kali, jika ia melompat dari tempatnya dan mendarat di lantai bawah, pertengkaran orang tuanya akan berhenti. Suara-suara perdebatan itu tak akan terdengar lagi, berganti dengan suara panik melihat dirinya terkapar usai jatuh dari lantai dua.
Otaknya menyuruhnya untuk terjun. Tapi, ia masih sadar, ia waras. Hal itu justru akan menambah masalahnya jadi semakin banyak. Sephia segera masuk ke kamarnya, sebelum pikiran-pikiran bodoh lainnya tercetus.
Usai masuk ke dalam kamar, Sephia berniat membawa tubuhnya untuk rebah di atas kasur. Namun, hal itu ia tunda sebab mendengar ponselnya berdering.
Sephia pun mengambil ponsel yang ada di atas meja belajarnya. Tertera nama Belia di sana. Mengapa Belia meneleponnya malam-malam begini? Sephia segera mengangkatnya.
"Sephia! Lo ngeyel banget, sih, dibilangin!" Terdengar suara teriakan dari sebrang.
Sephia langsung menjauhkan ponselnya dari telinga selama beberapa detik, sebelum ia kembali mendekatkan ponselnya ke telinga. Suara Belia sangat keras, namun tak cukup keras untuk melawan suara pertengkaran kedua orang tuanya di luar sana.
"Heh, kalo telepon salam dulu, kek," protes Sephia.
"Gue terlanjur marah sama lo. Kan, gue udah bilang, jangan deket-deket cowok itu lagi, kenapa lo masih pulang bareng dia, hah?!" tanya Belia emosi.
Sephia menggaruk keningnya yang tidak gatal. "Kenapa, sih, Bel. Lo, kan, denger suara gue sekarang, itu artinya, gue baik-baik aja."
Tak terdengar jawaban. Hening dari sana.
"Bel," panggil Sephia khawatir.
"Sep, lo lagi di mana? Kok gue kaya denger suara orang berantem?" tanya Belia yang ke sekian kalinya.
Tubuh Sephia menegang. Belia mendengar pertengkaran kedua orang tuanya. Sial, kenapa gadis itu harus mendengarnya.
"Gue lagi nonton tv. Gue tutup teleponnya. Bye, Assalamu'alaikum." Sephia segera menekan tombol merah untuk mengakhiri panggilan sebelum Belia menjawab ucapannya.
Semoga saja Belia tidak curiga.
Sephia melemparkan ponselnya pelan ke atas meja belajar, kemudian berjalan menuju kasur untuk merebahkan diri. Sephia telentang di kasur sembari menatap langit-langit kamar.
Pikirannya tertuju pada pembicaraannya tadi siang bersama dengan Septyan. Jujur saja, setelah mendengar perkataan Septyan tadi, Sephia jadi makin penasaran dengan lelaki itu. Ia tak berniat menjauhinya, ia tak peduli apa yang dikatakan oleh sahabatnya.
Lagi pula, sahabatnya sudah bahagia bersama dengan sang kekasih. Ia pun harus mencari bahagianya sendiri. Ya, harus.
***
Yang tercetus di kepala orang-orang saat mendengar 'hari libur' adalah 'bebas'. Bebas rebahan seharian, bebas bermain, bebas jalan, bebas bernapas. Tapi, jika kata-kata itu diberi pelengkap menjadi 'hari libur sebelum ujian tengah semester', rasanya pasti sangat stress.
Namun, hal itu sama sekali tak dipikirkan oleh Sephia. Seperti ujian-ujian lainnya, ujian tengah semester genap ini, Sephia sama sekali tak khawatir. Ia hanya membuka dan membaca buku sekilas. Bukannya merasa pintar, Sephia hanya berpikir, buat apa belajar, jika nilai lebih dihargai dari pada kejujuran?
Maksudnya, ia masih bisa mencontek atau bertanya jawaban pada teman-temannya. Itu bagus, kan?
Tok tok tok
Seseorang mengetuk pintu dari luar.
Tok tok tok
"Ini Mama." Suara ketukan pintu diikuti seruan Elena, membuat fokus Sephia teralihkan. Sephia yang tadinya sibuk bermain ponsel, akhirnya mematikan benda elektronik tersebut.
"Sephia, kamu di dalam, kan? Mama masuk, ya?" tanya Elena.
Entah ini hanya sugesti, atau benar-benar akan terjadi, tapi perasaan Sephia menjadi tak nyaman. Firasatnya buruk.
Ceklek
Pintu dibuka setengah meter, memperlihatkan Elena yang tersenyum. Di pipi wanita itu terdapat luka lebam, mungkin karena mendapat kekerasan dari Brama.
Sephia yang mengetahui itu, lantas beranjak dari kasur, kemudian menghampiri mamanya. Sephia menyentuh pipi wanita itu dengan lembut.
"Mama dipukul lagi?" tanya Sephia khawatir. Sekesal apapun ia, ia tak bisa tak peduli ketika mamanya sakit.
"Gapapa," ucap Elena singkat.
Sephia menggandeng wanita itu untuk duduk di kasurnya yang empuk. Sudah lama sejak terakhir kalinya Elena menyentuh tempat tidurnya itu.
Sephia membuka mulutnya, hendak bertanya alasan mamanya itu datang ke sini. Namun, belum sempat ia melontarkan pertanyaan, Elena sudah membuka suara.
"Kamu mau ikut Papa atau Mama?"
Deg
"Ma ...." Sephia mengeluh sedih.
"Kamu tolong ngertiin Mama, ya?" Itu bukan pertanyaan melainkan permintaan.
"Sephia yakin kalian masih bisa kaya dulu lagi," ucap Sephia. "Sebenernya, kenapa Papa berubah? Kenapa Papa marah-marah sama kita?" tanya Sephia dengan berani.
"Gak penting nanyain itu. Mama cuma pengen dapet jawaban. Kamu pengen ikut Mama atau Papa," tukas Elena cepat.
"Sephia pengen ikut kalian berdua." Jawaban yang sederhana, namun terlalu pelik untuk diwujudkan.
Elena menghela napas. "Gak bisa, Sayang."
"Ma, kalo Sephia boleh minta satu hal, Sephia cuma pengen Mama sama Pap—"
"SEPHIA!" Elena berteriak dengan keras. "Lupain semua harapan kamu itu, atau nunggu harapan itu yang nyakitin kamu dengan sendirinya. Mama udah capek, jangan salahin Mama kalo Mama pergi ninggalin kamu!"
Wajah Elena masam, selaras dengan suaranya yang lantang. Wanita itu membentak Sephia. Sephia terhenyak.
Tidak-tidak! Ini pasti mimpi. "Mama ...." Suara lirih Sephia memanggil wanita paruh baya tersebut.
Elena pura-pura tak mendengar. Ia justru bangkit dari duduknya, lalu keluar tanpa sepatah kata untuk Sephia. Sementara Sephia masih terpaku tak percaya. Itu bukan Elena, kan? Elena tak mungkin membentaknya.
-
1033 word. Jangan lupa vote dan komen.
Sampai jumpa di lembar selanjutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Peluka(n) [END]
Fiksi Remaja-Pelukan dari sang penggores luka paling dalam- *** Di mata orang, Sephia dan Septyan itu berbeda. Sephia dianggap sebagai gadis yang beruntung, padahal gadis itu sedang berusaha mengembalikan keharmonisan keluarganya. Sementara Septyan, hidupnya ta...