23. Air mata kekecewaan

4.3K 660 361
                                    

"Bunda, Jeno mau pulang biar bisa ketemu Bunda. Jeno mau lihat Bunda itu secantik apa, Jeno mau bahagia sama Bunda di atas."

Hai readers, jangan bosen ketemu authornya yaa, happy reading🙌🏻✨

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hai readers, jangan bosen ketemu authornya yaa, happy reading🙌🏻✨

-√-

-

Jeno terbangun kala matahari sudah tepat berada di atas dengan sinarnya yang begitu terik. Baru kali ini ia merasa lebih tenang saat tidak ada orang yang berada disampingnya. Sepertinya, sepi akan menjadi temannya untuk sekedar keluar dari dunia yang keras ini.

Andai ia bisa melupakan kejadian yang baru saja terjadi pagi tadi, tapi sayangnya kejadian itu kembali terekam dengan jelas di kepalanya. Dan yang menimbulkan banyak tanya dalam kepalanya adalah bagaimana Dirga bisa kenal dengan Johnny? Apa mereka sahabat? Atau mereka bersaudara?

Sudahlah, ia sudah tidak peduli dengan semua itu, hatinya seakan-akan sudah mati rasa dengan semua kelakuan orang disekitarnya. Dirga, sosok Ayah yang mengangkatnya jauh ke angkasa dengan kasih sayang yang hanya bertahan sementara, setelahnya ia kembali dijatuhkan dan tidak diselamatkan.

Remaja itu kembali menertawakan kehidupannya yang semakin hari semakin memburuk, tidak ada lagi kata bahagia yang terukir dalam buku kehidupannya. Ia sudah tidak percaya dengan kata bahagia, kata itu hanya digunakan khusus untuk seseorang yang selalu dihargai.

Sesaat ia berhenti tertawa dan berpikir, apakah setiap saat ia menertawakan hidupnya ia sudah sama seperti orang gila yang tertawa tanpa sebab? Hatinya boleh sakit, tapi ia harap hal itu tidak berpengaruh pada mentalnya karena ia masih mau membanggakan Ayahnya dan menjadi anak yang berguna.

Sampai tiba-tiba ia baru sadar bahwa tidak ada gunanya ia lahir ke dunia. Dia lahir hanya untuk dipermalukan, dijatuhkan, dihina, diinjak-injak, dan selalu menjadi manusia yang tak pernah di hargai.

"Wah, gue manusia paling bodoh ya."

Bahkan sekedar kata 'bodoh' yang ia katakan untuk dirinya tidak cukup untuk menyakiti dirinya sendiri. Sudah terlalu banyak hal yang menyakiti dirinya, dia hanya bisa berterima kasih pada Tuhan. Dia sudah lelah memohon dan meminta agar kehidupannya menjadi lebih baik.

Tok..Tok..

Jeno menatap kearah pintu ruangannya itu yang perlahan dibuka perlahan oleh orang yang ada diluar. Tolong, ia harap itu bukan Dirga.

"Jeno?"

Jeno membulatkan matanya dan senyuman itu terukir dengan sempurna di wajahnya, "Kak Marven?"

Marven masuk perlahan ke ruang rawat Jeno dan memeluk erat remaja itu, disaat itulah Jeno merasakan kehangatan yang sesungguhnya, andai saja Marven adalah kakak kandungnya.

"Bokap gue bilang lo dirawat disini makanya gue bisa disini."

"Emang papanya kakak dokter?"

Marven mengangguk, "Kemaren katanya dia yang meriksa lo disini, yang badannya kayak tiang itu. Yang mukanya kayak om-om padahal masih umur 37 tahun."

Ephemeral [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang