Persiapan

341 46 16
                                    

Happy Reading 🖤

_________________________________________

Tanpa menunda lebih lama lagi, William meminta agar pernikahannya dengan Rania disegerakan. Awalnya Hamdi sempat ragu menyetujui permintaan calon menantunya itu, tapi setelah mendengar alasan William dan memikirkannya, akhirnya Hamdi menyetujuinya.

Pagi ini keluarga William datang ke kediaman Hamdi. Mereka sepakat membagi tugas untuk mempersiapkan segalanya. Mereka akan tetap menggunakan Wedding Organizer, tapi tak sepenuhnya menyerah dan menerima hasil saja.

Hamdi dan Habib sedang berdiskusi tentang tema pernikahan, keduanya serius berdiskusi hingga menentukan hasil tak terduga. Akad nikah Rania dan William tetap akan dilakukan di Masjid, tapi pesta pernikahan mereka akan bertema outdoor.

Diarah dapur. Ailani, Diana, dan Bi Idah ikut berdiskusi perihal gaun pengantin, serta pakaian seragam untuk mereka.

Sementara disudut lain, Uwais, Abiandra, dan juga Afnan ikut heboh mencatat tamu yang akan mereka undang. Mengingat William meminta agar pestanya tidak berlebihan dan tidak mengundang banyak orang, karena itu mereka harus benar-benar mempertimbangkan siapa yang akan diundang. Bukan hanya undangan, ketiga pria ini juga diberi tugas untuk mempersiapkan hal-hal kecil lainnya.

Sisanya William sendiri yang akan mengurus.

Tak terasa waktu berjalan begitu cepat, William baru selesai menunaikan shalat Zhuhur berjamaah. Syukurnya beberapa masalah dapat ia lalui dengan mudah.

"Sekarang beli cincin dan pilih model undangan dulu kali, ya." Monolog William sambil berjalan menuju mobilnya.

"Capek juga, tapi nggak apa-apa. Allah bakal balas capek ini sama hal luar biasa nantinya, aamiin." Ia terkekeh geli mendengar ucapannya sendiri.

William mengetikkan sesuatu pada ponselnya lalu membawa benda pipih itu menepel ketelinganya.

"Halo, assalamu'alaikum," sapa suara diseberang sana.

"Wa'alaikumussalam. Toko perhiasan mana yang bagus?" tanya William tanpa basa-basi

"Mana saya tau, saya kan ikan." William menghela napas lelah mendengar jawaban tidak berguna dari Uwais.

"Jangan bercanda!"

"Buat apa?" tanya Uwais tidak dapat terdengar oleh William dengan jelas karena keadaan disana terdengar gaduh.

"Apa? Disana berisik, nggak kedengaran."

"BUAT APA?" teriak Uwais. William langsung menjauhkan ponsel dari telinganya.

"NGGAK USAH TERIAK JUGA, NGEJAUH AJA DARI SANA KELAR URUSAN." Emosi William ikut berteriak. Beginilah jika ia harus menghadapi seorang Uwais, tidak ada kesabaran dari William untuk Uwais.

"Lah, kok ngamok? Hahaha." William menghela napas panjang mendengar tawa Uwais diseberang sana.

"Uwais..."

"Hei, yang sopan ya kamu. Panggil Uncle!" Sela Uwais. William menganga tidak percaya, yang benar saja ia harus memanggil uncle pada pria yang hanya lebih tua 3 tahun darinya itu.

"Oke Uncle, bisa serius sebentar?" Pasrah William memilih mengalah. Memang seharusnya dari awal ia tidak menanyakan pada Uwais, kenapa ia tidak pernah bisa mengingat kalau Uwais al-Qarni itu selalu menguji kesabaran dan juga melatih emosi tertinggi seseorang.

"Mau serius sama Rania apa sama aku, mas?"

"Astaghfirullah."

Sekarang bukan hanya suara tawa Uwais yang terdengar. Abiandra dan juga Afnan ikut terbahak mendengar percakapan Uwais dan William yang ternyata di loud speaker oleh Uwais.

RANIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang