Bukan Karin yang Baru

409 52 9
                                    

Karin menyalakan ponsel Rania yang tadi katanya habis baterai, ia mengotak-atik ponsel Rania kemudian mengetikkan sesuatu.

Ia tersenyum lebar, dan kemudian mematikan kembali ponsel tersebut. Ia melirik kamarnya sebelum melangkah menuju rak wine yang ia sembunyikan.

Sambil menuangkan wine pada gelas yang ia pegang, ia berjalan ke dapur mengambil sesuatu dan kemudian menuju sofa di ruang tamu.

"Aku suka kehebohan." Karin tersenyum miring sambil memperhatikan sebotol yang berisikan obat.

"Aku penasaran, kehebohan apa yang bisa disebabkan setetes obat tidur ini." Kembali meneguk wine pada gelasnya sambil memperhatikan botol obat tidur yang ia letakkan pada meja dihadapannya.

Karin membuka pintu kamarnya dan menatap Rania yang nampaknya tertidur pulas.

"Dan gadis bodoh itu, dia tidur dengan nyenyak."

"Apa setelah game over, bisa bermain lagi? Kurasa beberapa koin dapat melanjutkan permainan yang telah mati." Ia tersenyum puas sebelum gedoran pintu memudarkan senyumannya.

Ia membuka pintu apartemen dan kemudian ternganga lebar melihat lelaki tampan berdiri didepan pintu apartemennya, wajahnya pucat dan banyak noda merah pada bajunya.

Namun itu hanya beberapa saat sebelum ia pusing karena bau dan noda darah pada baju William.

***

Hujan badai diiringi angin kencang menemani kepanikan William yang sudah berjam-jam mengelilingi kota untuk menemukan Rania.

William semakin panik saat jam sudah menunjukkan pukul 23.45, dan Rania belum juga ditemukan.

Beberapa tissue dengan noda darah berserakan disekitarnya, William mengendarai mobil sambil berusaha mengendalikan darah yang terus-menerus keluar dari hidungnya. Tidak cukup ditampung oleh tissue, bajunya pun sudah penuh dengan noda darah.

William mengumpat kesal saat kepalanya mulai pusing, mukanya benar-benar pucat, bibirnya memutih dengan mata yang sedikit memerah.

William membuang tissue ditangannya dan menjawab panggilan telpon dari mata-mata rahasia yang telah ia percayai sejak mulanya ia memasuki dunia bisnis.

"Boss, barusan nomor ponsel yang tadi aktif, dan untungnya dengan cepat saya lacak lokasi nomor tersebut..."

"Nggak usah banyak omong, kirim lokasinya! Cepat!" bentak William dan langsung mematikan panggilan tersebut.

Ia memperhatikan lokasi yang Zenos, mata-matanya kirim. Tidak terlalu jauh dari tempat ia berada.

"Apartemen? Ngapain dia disana?" William bergumam bingung tapi tidak mengurangi laju mobilnya.

Selang beberapa menit, William telah sampai di gedung apartemen tersebut, ia memperhatikan lagi lokasi yang Zenos kirim, lokasinya tidak salah, tapi apa yang Rania lakukan di apartemen yang pada umumnya dihuni oleh para maniak club ini.

Pikiran buruk berusaha ia tepis, bukan saatnya menimang-nimang atas pikiran baik dan buruknya saat ini.

William berjalan cepat mencari nomor kamar yang juga telah Zenos kirim, sangat beruntung teknologi yang semakin canggih mempermudahnya menemukan gadis Muslimah yang telah membuatnya gila itu.

William berdiri dengan ragu didepan pintu kamar bernomor 86  tersebut. Lagi dan lagi ia memastikan bahwa lokasi tersebut akurat dengan lokasi yang dikirim Zenos.

William mengetuk pintu dengan sisa tenaganya, syukurlah darah sudah tidak mengalir lagi dari hidungnya, bukan berarti juga ia baik-baik saja. Setelah mengeluarkan banyak darah, tentu membuat perubahan keadaan pada tubuh, apalagi tubuh William yang setiap harinya mematikan sel-selnya.

RANIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang