William

1.5K 136 3
                                    

"Maaf Pak, kurang lebih, sebagian dari karyawan tidak bisa datang pada hari Minggu. Bagaimana jika rapatnya diadakan hari Senin saja pak?" Seorang wanita menyampaikan apa yang di keluhkan oleh karyawan yang memeluk agama Kristen.

"Kenapa?" tanya seorang pria berambut sedikit pirang, hidung yang mancung, mata sipit yang sedikit membayang ketajaman siluet, bibir khas yang ia miliki membuat lukisan senyuman yang sangat menarik dan dilengkapi dengan lesung pipi, membuat ketampanannya semakin di minati wanita-wanita.

"30% Karyawan kita adalah pemeluk agama Kristen, dan minggu adalah hari untuk mereka beribadah." Jelas seorang pria yang juga tampan seperti pria sebelumnya. "C'mon Will, majukan atau tunda rapatnya, lagipula Minggu seharusnya menjadi hari libur mereka." Pinta pria tersebut membujuk pria yang ia panggil 'Will'.

William tampak tak peduli, ia menggeleng tegas menolak permintaan sepasang manusia dihadapannya. "Tidak, rapat tetap diadakan hari Minggu." Kekeuh William menekankan kata-katanya, menyiratkan bahwa keputusannya tidak bisa di tantang.

"Anda bilang 30% dari karyawan kita adalah pemeluk agama yang melakukan ibadah pada hari Minggu? Kalau begitu, potong 30% dari gaji mereka yang tidak hadir di rapat itu." Titah William, membuat wajah Eris (sekretaris William) memucat, karena Eris juga salah seorang dari 30% karyawan di perusahaan William yang memeluk agama Kristen, dan ia juga sangat taat kepada Tuhannya.

Bagaimanapun ia harus menurut, statusnya hanya seorang bawahan. Eris mengangguk kaku, keputusan William tidak bisa di bantah, jika ia membantah, ia terpaksa harus keluar dari perusahaan William.

Eris berjalan keluar dari ruangan William dengan wajah penuh kekesalan, kalau bukan karena ini merupakan perusahaan paling besar dan maju di Indonesia serta gaji yang diberikan William yang sangat besar, dia tidak akan sudi bekerja dengan seorang boss yang tidak mempercayai keberadaan Tuhan. Tidak, bukan tidak mempercayai Tuhan lagi. Tapi, pria gila itu sangat menentang Tuhan.

"Will, kamu keterlaluan. Karena kamu nggak percaya Tuhan ada, bukan berarti kami juga harus nggak percayaz kamu membuatku muak dengan sikap egoismu." Alvin, teman dekat sekaligus bawahan William sedikit emosi dengan sikap William yang sangat egois dan tidak profesional menurutnya.

William menatap Alvin dengan senyum penuh kelicikan. "Kalau nggak suka, kamu boleh keluar dari perusahaan." Berniat mengancam tapi malah menjadi bumerang baginya.

Alvin mengangguk mantap sambil menatap William dengan senyum andalannya. "Oke, sesuai permintaan anda, Pak." Alvin nampak yakin dengan keputusannya, membuat William terkejut.

Alvin melepaskan ID Card yang tergantung rapi dilehernya, meletakkannya di atas meja tepat dihadapan William. Dia tersenyum damai, sangat pintar membuat lawan bicaranya bingung dengan bagaimana perasaannya saat tersenyum seperti itu, tidak ada yang tau apa dipikiran Alvin dibalik senyum itu. Alvin selalu menampilkan senyuman yang terlihat sangat menyebalkan dimata William, bahkan disaat seperti ini, senyumannya masih sama.

"Akan saya kirim surat pengunduran diri, secepatnya." Masih dengan senyum yang sama, Alvin keluar dari ruangan William.

William mengumpat kesal. "Kenapa seperti ini?" Kesalnya menendang kursi disampingnya.

William mengejar Alvin menuju ruangan yang ditempati Alvin, ia masuk tanpa mengetuk pintu, sontak membuat Alvin terkejut dan menatap William yang sedang mengatur nafas.

"Ahaa, masuk jebakan." batin Alvin merasa menang.

"Ada yang bisa saya bantu, pak?" tanya Alvin sengaja dengan formal, membuat telinga William me merah karena kesal.

"Cukup Al, jangan buat aku gila. Nggak ada yang boleh pergi dari perusahaan ini!" tegas William menggebrak meja kerja Alvin.

Alvin masih berusaha menahan tawanya, dia berdeham kecil sambil kembali menunjukkan senyum andalannya. "maaf Pak? Bukankah anda yang menyuruh saya pergi?" Alvin mencemooh William dengan menyindir William atas apa yang dikatakannya tadi.

"Iya, aku salah! Sudah? Sudah puas?" William membuat masalah dengan orang yang salah, seorang pria yang memiliki sedikit porsi sifat perempuan, yang selalu merajuk dengan kesalahan yang dilakukan William.

Alvin mengangguk masih mempertahankan senyumannya. "Sekarang keluarlah Pak, saya akan mengemasi barang-barang saya." Alvin membelakangi William sambil berusaha menahan tawanya, ia mengambil sebuah kotak besar disamping lemari kecil disudut ruangannya, kemudian kembali ke meja nya dan memasukkan satu per satu benda yang ada di meja tersebut.

William masih setia memperhatikan gerak gerik Alvin, dia berusaha memikirkan cara untuk membujuk Alvin. William merebut kontak besar tersebut dari tangan Alvin, dia mengeluarkan barang-barang Alvin sambil menatap penuh kemarahan pada Alvin.

"Jangan seperti ini. Oke maaf, aku tadi cuma bercanda." Rengek William, ini salah satu ultimatum yang dimiliki William untuk membuat Alvin menuruti permintaannya, dan benar saja, Alvin mengacak rambutnya kesal.

"Oke oke, sekarang keluarlah, aku nggak bakal pergi." Alvin sangat geli melihat wajah merengek William. alasan ia menuruti William ketika William merengek karena semua karyawan dan orang-orang menganggap mereka seperti sepasang kekasih. Hal tersebut tentu sangat memalukan. di Indonesia, gay adalah sesuatu yang sangat ditentang, dan juga di agama Alvin, gay adalah sesuatu yang diharamkan. Alvin adalah seorang pemeluk agama Islam.

William tersenyum berseri-seri. "Oke, makan siang bareng, ya." Ajak William dengan nada manja.

"Oke, tapi ada syaratnya."

"Iya, aku tunda rapat nya." Putus William karena ia sangat mengerti syarat yang di maksud Alvin.

Alvin tersenyum penuh kemenangan. "Sana pergi!" William memajukan bibirnya. Ia memang manja, bahkan sangat manja dengan Alvin. Orang-orang akan mengira William mempunyai kepribadian ganda jika melihat William dengan Alvin, dan William tanpa Alvin.

Alvin bergidik ngeri, ia mengabaikan William dan mengusir William lagi. "kalau kangen, hubungi aku." Goda William sambil berusaha menahan geli atas apa yang ia lakukan.

"Will, keluar!" Alvin sedikit teriak dengan wajah yang sedikit me merah. William tertawa dan pergi dari hadapan Alvin.

"Will." Teriak Alvin tanpa berniat mengejar William.

William yang merasa namanya dipanggil, melangkah mundur dan menyembulkan kepalanya di pintu ruangan Alvin. William menaikkan sebelah alisnya.

"Besok jangan lupa." William mengerutkan keningnya tak mengerti.

"Apa?" tanya William tanpa berniat berpikir terlalu lama

Alvin menghela nafas "besok jadwal check up." William membentuk huruf O dengan mulutnya, dia mengajukan jempolnya dan tersenyum menampilkan lesung pipinya, tanpa banyak bicara, William kembali melanjutkan langkahnya.

William menghentikan langkahnya dan berputar kembali ke arah ruangan Alvin, dia mengintip Alvin dari pintu ruangan Alvin, Alvin terlihat sedang membaca sebuah buku dengan cover bertulisan yang aneh dimata William, dia berpikir kalau itu adalah kitab di agama yang Alvin percayai.

"Ekhm, Al." Alvin menjeda bacaannya dan menatap William bingung.

"Kenapa?

"Hmm besok, kamu bisa temanin kan?" tanya William memastikan.

Alvin terkekeh, dia mengajukan jempolnya meniru apa yang William lakukan tadi. "Seperti biasa"

William tertawa."Jangan lupa makan siangnya." William mengedipkan matanya menggoda Alvin, sedangkan Alvin bergidik ngeri dan kembali melanjutkan menata barangnya.

Bisa disimpulkan bagaimana bisa William sangat berbeda saat bersama Alfin. Selain karena sudah lama berteman, Alfin sudah seperti keluarga baginya. Besar bersama penyakit membuat William terbiasa manja dan dimanjakan orang terdekatnya.

RANIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang