Sebuah Jalan

317 43 4
                                    

Happy Reading

_________________________________________

"Kita bisa bertemu dipertengahan jalan untuk bersama-sama menuju ujung jalan."
•William•

"Alhamdulillah Bun, keadaan William lumayan membaik. Walaupun kita nggak bisa kembalikan pada keadaan semula, seenggaknya kita bisa mencegah kerusakan yang lebih parah dari saraf dan sel-selnya."

Diana mengucap syukur sambil memeluk haru suaminya, begitu senang mendengar penjelasan Cello.

"Kita nggak bisa senang dulu. Persentase William untuk bertahan lebih lama sangat rendah, kita cuma bisa berdo'a, semoga Allah mengijinkan William lebih lama di dunia, semuanya tergantung pada kehendak Allah. Kita nggak tau kan Bun, kedepannya gimana."

Diana mengangguk kecil dengan sisa tangis yang masih ada. "Kami nggak minta banyak kok, nak. Cuma sampai William memeluk Islam, setelah itu kami akan tawakal dengan apa yang akan terjadi selanjutnya."

Cello tersenyum, ia menggenggam tangan Diana, anak dari orang yang merawatnya di negeri orang sana. "Aku juga bakal usaha semaksimal mungkin untuk membantu William bertahan sampai dia berada disisi Allah, Bun."

"Jika Rania jalan satu-satunya, aku akan lakukan apa aja untuk mempermudah jalan itu. Yang penting kita tetap berdo'a, meminta pertolongan Allah untuk melembutkan hati William atas Agama-Nya." Diana mengangguk, diikuti Habib yang juga sangat setuju dan berharap pertolongan pada Cello.

Malamnya, Cello datang ke rumah Rania. Katanya tidak ada alasan tertentu, tapi siapa yang tau, pria tersebut bermaksud menjalankan rencananya dari malam ini. Semoga saja Allah memperlancar semuanya.

"Ace." Ailani tersenyum dengan mata berbinar menyambut kedatangan Cello. "Masuk, Nak." Ia langsung menarik Cello setelah pria tersebut menyalami tangannya.

"Semangat banget kak. Kayak nyambut siapa aja," cibir Uwais sewot sendiri.

"Berisik kamu, sana-sana!" Usir Ailani membuat Uwais melotot tidak terima.

Ailani sibuk berbicara dengan Cello sambil memegangi tangan Cello, sedangkan Uwais cemberut kesal memperhatikan dua orang yang sudah seperti Ibu dan Anak kandung dihadapannya.

"Ummi belum puas kangen-kangenan sama kamu kemaren, seharusnya kamu nginap disini."

"Maaf Ummi, aku janji lain kali nginap disini."

"Iya harus dong! Kalau bisa sekarang aja." Pinta Ailani tak tanggung-tanggung.

Cello terkekeh kecil berusaha mencari alasan untuk menolak ajakan Ailani.

"Dari wajahnya kayaknya nggak mau tuh, kak." Uwais mulai lagi mengeluarkan kelebihannya.

Ailani menatap Cello setelah tadi menatap Uwais. "Benar?"

Cello beristighfar sambil menatap kesal pada Uwais yang asyik memainkan ponselnya.

"Iya deh Ummi, aku nginep disini. Tapi aku mau tidur di kamar Uncle, boleh kan, Mi?" Ailani mengangguk cepat menerima permintaan Cello.

"Aku nggak mau tidur sama Uncle, gimana dong, Mi?" tanya Cello.

Ailani terdiam sebentar. "Uwais bisa pindah dulu ke kamar tamu."

"Kakak gila?" Protes Uwais tidak terima.

"Sehari aja kok, kamu jangan pelit gitu."

"Nggak, aku nggak mau!"

Uwais menatap tajam pada Cello yang menjulurkan lidahnya meledek Uwais.

"Kamu ... "

Cello tertawa menyela ucapan Ailani. "Aku tidur di kamar biasa aja, Mi."

RANIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang