Khawatir

403 52 1
                                    

Karin mempersilahkan Rania masuk setelah ia melangkahkan kakinya memasuki apartemen yang beberapa tahun ini ia tempati.

"Kamu pindah apartemen?" tanya Rania yang mengikuti Karin menuju dapur kecil di apartemen tersebut.

Karin mengambil air dingin di dispenser, kemudian menyodorkan kepada Rania.

Karin tersenyum kemudian mengangguk kecil. "Pengen ngerasain yang baru aja," ucap Karin memberi alasan.

Rania hanya mengangguk paham. Rania terkejut karena getar ponselnya, ia merogoh tasnya mengambil ponsel tersebut.

Ada beberapa panggilan tak terjawab disana. Mungkin karena sibuk berkeliling dengan Karin, ia tidak mendengar ponsel tersebut berbunyi.

Nomor tidak dikenal
47 panggilan tak terjawab

Afnan
44 panggilan tak terjawab

Abiandra
22 panggilan tak terjawab

Uncle
15 panggilan tak terjawab

Alya
14 panggilan tak terjawab

Pak Alvin
14 panggilan tak terjawab

Dan masih banyak lagi. Rania mengerutkan keningnya, ia melihat jam pada sudut kiri atas ponselnya.

20.23

Pantas saja, ternyata sudah malam, dan dia masih diluar rumah. Seharusnya ia sadar setelah tadi sholat isya.

Rania mencari kontak Umminya, berniat memberi tau kalau ia sebentar lagi akan pulang.

"Ra, aku masak ya. Kita makan malam dulu sebelum kamu pulang."

Rania meringis, ia mengurungkan niatnya untuk menghubungi Umminya. "Gimana ya Rin, masalahnya ini udah malam banget, aku takut orang dirumah pada nyariin."

Karin tersenyum miris. "Oh ya udah. Nanti aku makan sendiri aja."

Rania merasa bersalah melihat wajah Karin yang berubah murung. "Rin, maaf. Aku bukan.."

"Nggak apa-apa Ra, aku aja yang terlalu berharap lebih bakal ada teman makan untuk malam ini, biasanya kan makan sendiri. Sepi, nggak nafsu makan jadinya," ujar Karin sambil tersenyum pahit. "Sebenarnya aku juga pengen masakin kamu, udah lama aku pengen masak buat seseorang," lirih Karin.

Rania mengelus tangan Karin, ia menghela nafas. "Ya udah deh, sesekali pulang malam kayaknya nggak apa-apa," ujar Rania berbohong. "Mau aku bantuin masak?" Tawar Rania yang disambut anggukan antusias Karin.

Rania tersenyum melihat wajah Karin yang berubah ceria lagi.

"Aku kabarin Ummi dulu ya," ucap Rania yang diangguki Karin. Baru ia membuka layar ponselnya, layar tersebut kembali mati.

"Astaghfirullah, lowbat."

"Lowbat Ra?" tanya Karin yang sedang mengeluarkan beberapa bahan yang akan mereka masak dari kulkas.

Rania mengangguk pelan. "Kamu ada charger nggak?"

Karin mencuci tangannya. "Ada, aku ambil dulu," ucap Karin yang langsung diangguki Rania.

Mereka masak sambil sesekali tertawa kecil. Dibalik tawanya, Rania sangat gelisah, ia bahkan tidak bisa mengabari Umminya.

"Ra, mau pake ponsel aku?"

"Aku nggak hafal nomor Ummi atau Abi, Rin."

"Gimana kalau telpon Alya."

Rania berpikir sejenak, jika ia menghubungi Alya, maka Alya akan ngamuk dan usahanya untuk memperbaiki hubungan mereka tidak akan pernah berhasil. Rania menggeleng dan melanjutkan kerjanya.

RANIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang