Pengkhianatan

410 45 4
                                    

Happy Reading ✨

_________________________________________

Masih perihal Iri.
Semua yang ada akan hancur karenanya.

Langkah Diana terhenti ketika mendengar suara didalam sana mengatakan sesuatu yang mampu membuatnya membeku dengan tersenyum pahit.

Niat hati ingin menyampaikan kabar bahagia pada keluarga penghuni rumah megah ini, tapi malah berujung nahas. Pulangnya membawa goresan luka yang berhasil Hamdi gores melalui kata-katanya pada hati Diana sebagai Ibu William.

Diam disana mendengar ucapan Hamdi hanya akan menyayat hatinya. Diana memilih berbalik dan membatalkan niatnya.

"Kamu berhak mendapatkan pria yang jauh lebih baik dari William."

Dari sekian banyak ucapan Hamdi yang ia dengar, itulah yang paling menyakitkan bagi Diana. Rasa tidak rela menyeruak hatinya, ia tidak terima anak yang ia besarkan seolah-olah tidak pantas mendapat perempuan baik untuk mendampinginya.

Tekad Diana membulat untuk membujuk William agar menyerah atas cintanya. Memperjuangkan Rania hanya akan membuat putranya tersakiti. Diana tidak sepenuhnya menyalahkan orangtua Rania, karena bagaimanapun Diana sangat tahu jika orangtua gadis itu pasti berharap putrinya mendapatkan pendamping yang baik agamanya, jauh berbeda dengan putranya yang baru mempercayai Tuhan.

Bunyi ponselnya membuat Diana tersadar, menghela napas panjang sebelum mengangkat panggilan itu.

"Assalamu'alaikum," sapa Diana.

"Wa... wa'alaikumsalam," jawab suara di seberang sana.

"Ada apa, sayang? Kalian udah pulang?" tanya Diana dengan suara lembut sambil menyalakan mesin mobilnya.

"Ma... Abi dan kakak. Kami..." lirih Abiandra.

Ucapan Abiandra tergantung. Menimbulkan kerutan di kening Diana yang menunggu lanjutan dari ucapan putra bungsunya.

"Kalian kenapa?" tanyanya takut-takut saat Abiandra tidak melanjutkan ucapannya.

"Kakak... Itu, kakak..."

"Kakak kamu kenapa, Abiandra?" bentak Diana geram dengan Abiandra yang tidak jelas. Perasaannya mulai tidak enak, ia beristighfar dalam hati untuk mengusir pikiran buruknya.

"Abiandra!" tegur Diana mencengkeram stir mobilnya. Belum sama sekali menjalankan mobilnya yang sudah menyala.

"Mama di mana?" tanya Abiandra mewanti-wanti ibunya.

"Jangan bertele-tele, kakak kamu kenapa?" Diana bertanya dengan suara yang sedikit meninggi.

"Mama tenang dulu... Ka...kakak tadi pingsan..."

"Di rumahsakit mana? Mama kesana sekarang," tanya Diana menyela ucapan Abiandra, ia mulai menangis dengan tubuh bergetar mengemudi mobilnya.

"Ma, tenang dulu. Sekarang Mama dimana? Share loc, Abi jemput sekarang."

Diana menggeleng dengan tetap fokus pada jalanan. "Kamu disana aja, jaga..."

"Berhenti sekarang, Abi jemput!" Bantah Abiandra yang hanya diangguki Diana.

Sambungan itu terputus setelah Diana menjawab salam Abiandra. Diana memberhentikan mobilnya ditepi jalan, memang lebih baik dia untuk menunggu Abiandra saja.

Diana berulangkali melihat pengendara yang melewatinya, berharap itu Abiandra. Ia masih menangis sambil menunggu Abiandra.

Ketukan pada kaca mobilnya menyadarkan Diana yang tengah menutup matanya sambil beristighfar, mencari ketenangan. Ia menoleh dan mendapatkan seorang gadis yang tak lain ialah Alya.

RANIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang