Selamat Tinggal Indonesia

388 50 10
                                    

Happy Reading ✨

_________________________________________

Uwais merasa aneh dengan ponakannya itu. Ia pikir Rania akan terus menangis setelah tau kalau dirinya dikhianati lagi, tapi pikirannya salah. Rania terlihat biasa-biasa saja, Rania telah berhenti menangis sebelum benar-benar meninggalkan butik.

Keheningan di mobil membuat Rania menghela nafasnya, kesal karena dari tadi ia berbicara dan Uwais hanya menjawab satu atau dua kata.

Rania memutuskan untuk pulang setelah tadi bertemu Cello, Abiandra, serta mengunjungi makam Reinand. Ia pamit tanpa memberitahu mereka kemana tempat tujuannya, tentunya hal itu menjadi rasa penasaran tersendiri bagi Cello dan Abiandra. Perihal Alya, ia akan berusaha untuk baik-baik saja.

"Uncle kenapa diam-diam gini sih? Besok aku mau pergi loh." Tidak tahan lagi, Rania memutuskan untuk mengutarakan kekesalannya.

Uwais tidak menanggapi, ia diam dengan masih fokus pada tujuannya. Ia memarkirkan mobilnya sebelum menghadap ke Rania.

Masih sibuk dengan kekesalannya hingga Rania tidak sadar kalau mobil sudah berhenti.

"Seharusnya Uncle yang nanya, kamu kenapa nggak nangis?" Mendengar pertanyaan Uwais sudah pasti membuat Rania membelalak tidak percaya.

Saat sadar ponakannya tidak paham dengan maksud pertanyaannya, Uwais kembali membilah kata agar katanya tidak menjadi kesalahan.

"Alya mengkhianati kamu. Uncle bukannya mau kamu benci dia atau apapun, tapi kamu nggak bisa bohong kalau kamu kecewa atau bahkan lebih, Rania." Rania menatap Uwais dengan tersenyum tipis.

"Rasanya tentu sakit." Pandangan beralih menghindari tatapan Uwais. "Tapi, ini belum apa-apa dibanding rasa sakitku yang lain."

"Aku juga udah biasa, jadi semua ini bakal baik-baik aja kok. Iya kan, Uncle?" Rania kembali menoleh menatap Uwais menuntut persetujuan dari ucapannya barusan.

Terbiasa disakiti, membuatnya mati rasa. Kira-kira seperti itulah makna yang Uwais tangkap dari ucapan ponakannya.

"Kamu boleh nangis dan peluk Uncle."

"Nanti aja, sekarang nanggung." Rania terkekeh kecil, hanya sebentar sebelum dahinya mengernyit saat melihat dimana mereka berada. "Uncle."

"Hmm?"

"Kita ngapain kesini?" tanya Rania mengedarkan pandangannya.

"Lihat William." Dengan acuh, Uwais menjawab pertanyaan itu membuat Rania menoleh cepat kearahnya.

"Uncle gila!" Uwais menggeleng, mengambil ponselnya bersiap akan keluar.

"Ayo."

"Uncle!" bentak Rania nampak emosi. "Sebenarnya, apa mau Uncle?" tanya Rania dengan suara mulai bergetar.

Tidak menyangka dengan respon Rania. Uwais kelimpungan mencari cara untuk mengembalikan suasana, tak sedikitpun ia ingin membuat Rania seperti ini.

"Rania..."

"Uncle senang liat aku sesak menahan sakit? Uncle senang liat aku terlihat lemah dihadapan William? Uncle senang?" tanya Rania menggebu-gebu.

"Bukan..."

"Bukan?" tanyanya dengan suara kecil. Tapi, kenapa Uncle terus begini?" bentak Rania jelas sudah menangis.

"Uncle nggak mau kamu alami hal yang sama dengan yang pernah Uncle alami!" Lantang Uwais begitu cepat tanpa memberi celah untuk Rania menyela ucapannya.

Diamnya Rania cukup menyadarkan Uwais, ia tanpa sadar membentak Rania. Uwais menggenggam stir mobil seakan ingin meremukkannya, menyesal kenapa ia sampai kelepasan membentak Rania, seharusnya ia bisa bicara dengan Rania dengan nada tenang.

RANIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang