Pria Gila

570 64 1
                                    

Sahabat...
Salah satu pemberian Allah yang hanya diberikan kepada hamba-Nya yang sangat beruntung
-Rania-

Ketukan pintu mengalihkan perhatian Rania dari setumpuk kertas dan juga laptop yang tadi sedang ia tekuni.

"Masuk."

Seorang gadis mengenakan Khimar berwarna navy menyembulkan kepalanya dari balik pintu yang sedikit terbuka.

"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Bu Rania," ujarnya sambil mengedipkan sebelah matanya.

"Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh." Rania tersenyum geli melihat tingkah Alya, ia berdiri dan langsung memeluk sahabatnya itu, satu minggu tidak bertemu ternyata begini rasanya.

Padahal dulu saat Rania menempuh pendidikan di negeri orang, sekitar kurang lebih tiga setengah tahun mereka tidak bertemu, mereka bisa mengatasi yang namanya rindu itu dengan sangat baik, tapi sekarang satu minggu saja tidak bertemu, rasanya sangat lama.

"Ayo duduk, kamu mau minum apa Ay?" tanya Rania sambil menutup pintu ruangan kerjanya. William sengaja menyediakan ruangan untuk Rania, padahal ia tidak membutuhkannya, tapi William tetaplah William yang keras kepala.

Alya memutar bola matanya, ia mendorong Rania menuju kursi kerja yang tadinya Rania duduki. "Sekarang kamu kerja aja ya, nanti kalau aku haus, aku bisa ambil minum sendiri kok."

Rania tertawa geli melihat Alya yang tidak senang diperlakukan seperti tamu lainnya oleh Rania. "Kalau kamu lapar?"

"Aku bisa ambil makan sendiri?" jawab Alya sambil berjalan menuju sofa.

"Kalau makanannya nggak ada?" tanya Rania lagi membuat Alya menghela nafas jengah.

"Aku bisa cari makan sendiri, udah ah. Aku ngantuk, jangan berisik." Alya membaringkan tubuhnya di sofa. "Pintunya udah dikunci kan, Ra?"

"Belum."

Alya mengunci pintu terlebih dahulu sebelum ia benar-benar ingin tidur karena sangat lelah, aktifitasnya yang sangat padat belakangan ini membuat Alya ingin tidur dimana pun ia bisa tidur.

"Pasti Alya kecapean, seharusnya aku luangkan waktu buat bantu Alya handle butik." batin Rania merasa bersalah

Rania berjalan mendekati Alya yang nampaknya sudah tertidur, ia tersenyum dan melepaskan sepatu yang Alya kenakan agar Alya lebih nyaman dalam tidurnya.

"Maaf Ay, aku egois. Seharusnya aku bantu kamu kelola butik kita, tapi sekarang aku malah melimpahkan semua tanggung jawab yang harus kita tanggung berdua ke kamu." Rania mendorong meja sofa menempel ke sofa agar Alya tidak jatuh kalau ia memperbaiki posisi tidurnya.

"Adek manis nggak usah merasa bersalah, kakak oke-oke aja kok," gumam Alya yang masih memejamkan matanya.

Rania membulatkan mulutnya mendengar ucapan Alya, selain kaget karena Alya yang tidur tapi bicara ia juga merasa jengah karena Alya memanggilnya dengan sebutan 'adek', padahal Alya hanya tua 6 bulan 5 hari dari Rania. Tapi Rania mengakui kalau ia memang sangat manja jika dengan Alya.

Rania bergedik ngeri, ia lanjut mengemasi berkas-berkas dan laptopnya. "Ay, aku rapat sebentar ya, kamu lanjut tidur aja."

"Hmmmm."

"Ponsel aku mana ya, Ay?"

"Nggak tau."

"Pulpen aku kamu liat nggak?"

"Nggak."

"Kacamata, kacamata aku mana?"

"..."

RANIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang