Saputangan Rania

1.2K 126 1
                                    

"Jadi, bagaimana dok? Apa ada perkembangan?" Alya menatap dokter yang duduk dihadapannya dengan penuh harap.

"Alhamdulillah, berkat pertolongan Allah, tangan Rania yang cedera sembuh dengan baik, tapi kita tetap harus berhati-hati, karena ini belum sembuh total." Jelas dokter tersebut sambil tersenyum ramah.

"Alhamdulillah." Serentak Rania dan Alya.

"Apa pergelangan tangannya masih sering sakit?" tanya dokter memastikan.

"Alhamdulillah, nggak se-sering dulu dok, cuma kadang-kadang sedikit nyeri," ujar Rania memberitahu kepada dokter.

"Syukurlah, saya sarankan, agar Rania tidak terlalu melakukan aktifitas yang bisa menganggu proses kesembuhan total." Dokter memperlihatkan hasil X-ray.

"Disini masih rawan, hanya sisa ini, selebihnya sudah kembali normal." Dokter menunjuk gambar tulang yg tepat berada diposisi pergelangan tangan Rania.

Rania mengangguk sambil memperhatikan penjelasan dokter. Rania membeku saat ucapan dokter kembali terngiang ditelinganya, seakan teringat sesuatu. "Dok, apa larangan ini juga berlaku untuk memanah?"

Dokter tersebut tersenyum ramah. "Rania, saya tidak melarang kamu untuk melakukan apa pun, tapi saya hanya menyarankan agar kamu tidak melakukannya. Jika Allah berkehendak lain, apa pun yang kamu lakukan tidak ada pengaruhnya. Selalu berdo'a, maka Allah akan memberikan yang terbaik untukmu."

Alya mengangguki ucapan dokter tersebut. Sedangkan Rania tersenyum ramah. "Baik dokter, terimakasih."

Dokter tersebut memasukkan hasil X-ray kedalam amplop berwarna coklat. "sama-sama, tidak ada yang perlu dikhawatirkan, jika kamu bisa menahan diri dalam sebulan ini, insya Allah, semuanya akan kembali seperti semula."

Rania dan Alya mengangguk, mereka pamit dan tidak lupa mengucapkan terimakasih.

***

"Will, ayolah, keadaanmu nggak baik-baik aja, kamu harus dirawat." Bujuk Cello, seorang dokter, dan juga teman dekat William dan Alvin.

William tetap kekeuh pada keputusannya. "Aku nggak suka pakaian rumah sakit." Alibi William.

Alvin dan Cello menghela napas, sikap manja William membuat mereka kehabisan akal. Bagaimana bisa William memiliki kepribadian yang berbeda, lebih baik William bersikap acuh seperti ia bersikap kepada orang lain, dari pada bersikap manja disaat usianya sudah memasuki 28 tahun.

Cello mengusap wajahnya. "Gini aja, kamu nggak perlu memakai pakaian itu, kamu boleh memakai pakaian apa aja."

William tetap menggelengkan kepalanya. "aku nggak suka kasur rumah sakit, kasurnya nggak nyaman. Aku juga nggak nyaman kalau ada jarum yang nempel di kulit mulusku"

Alvin mengepalkan tangannya berusaha menahan emosi, dia tersenyum damai sambil menatap William. "Sekarang tinggal jawab, mau apa enggak?" Alvin menegaskan setiap kata-katanya.

William dan Cello bergidik ngeri melihat senyuman seribu arti yang selalu ditampilkan Alvin. William menggelengkan kepalanya. "Nggak mau. Bukannya aku udah jawab? Kalian aja yang memaksa."

Cello memperbaiki posisi duduknya, dia sedikit mendekati William. "Apa alasannya?"

William menyandarkan tubuhnya ke sandaran sofa. "Ell, Al, kalian tau kan, cuma kita bertiga yang tau tentang penyakitku. Aku nggak mau mama dan papa tau, mereka udah tua buat selalu mikirin aku. Sekarang, tugasku untuk memikirkan mereka, mereka nggak boleh lagi mencemaskanku."

Alvin mematung, dia tidak bisa membantah keputusan William, William punya alasan yang tepat. Sementara Cello, dia menyandarkan tubuhnya dengan kasar, di satu sisi, dia tidak bisa membantah keputusan William, sementara disisi lain, William sangat membutuhkan perawatan

RANIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang