Happy Reading 🖤
_________________________________________
Dirasa sakit paling tinggi.
Kamu tidak akan menemukan air mata.Hari ketiga Rania terbaring lemah di ruang ICU. Dia sangat tenang dan damai, matanya seolah enggan untuk terbuka melihat dunia dan orang-orang yang menunggunya, bahkan bibir pink segar itu sangat putih memucat, tidak ada lagi senyum lembutnya nan menawan.
Diluar, William masih setia menunggunya. Jam tidur serta makannya tidak teratur tiga hari terakhir ini. Matanya sulit terpejam karena wanitanya sibuk memejamkan mata, nafsu makannya ikut hilang bersamaan dengan Rania yang tidak mencicipi makanan.
Syukurnya dia masih ingin bertahan untuk menunggu wanitanya bangun. Satu-satunya cara membujuk William makan walau hanya satu dua sendok hanya obat. Dia harus meminum obat agar bisa bertahan sampai wanitanya membuka mata.
Ailani dan Diana menatap iba pada sosok William. Pria itu menatap kosong pintu ruangan didepannya, dia seperti kehilangan arah saat satu arahnya kandas.
Pria itu menghela napas untuk menenangkan dirinya setelah sadar dari lamunan, tangannya terangkat untuk mengacak rambutnya. Untuk kesekian kalinya air matanya menetes karena ketakutannya, dia kembali beristighfar agar bisa sedikit tenang, ini cukup manjur sebelumnya.
"William," panggil Ailani sudah duduk disampingnya.
"Mama, Ummi." Seperti biasa, pria itu balik menyapa kedua orangtuanya itu dengan senyum paksa.
"Pulang dulu, nak. Mandi sama makan." Ailani mengusap bahu William karena melihat banyak keresahan pada menantunya.
"Nanti aja, Mi. Aku udah minum obat tadi."
"Will." Diana menggantung ucapannya, mengelus rambut putranya penuh sayang. "Rania nggak bakal tenang kalau tau kamu kayak gini. Seenggaknya makan dengan baik, bukan makan karena mau minum obat aja."
William terdiam. Dia kembali menghela napas sambil mengusap kasar wajahnya.
"William, apapun yang terjadi, itu yang terbaik menurut Allah. Kamu kayak gini nggak bakal merubah apapun, nak. Serahkan aja semuanya ke Allah." Ailani berusaha keras menahan tangisnya melihat William yang benar-benar kacau.
"Nggak gampang, Mi. Aku rasanya nggak bakal sanggup." William kembali menangis. Semua tentang Rania adalah hal paling sensitif bagi William saat ini, dia bahkan tak bisa mengendalikan diri seperti sebelumnya.
"William." Ailani mengusap air matanya, sama seperti William, Ailani bahkan lebih hancur dari yang terlihat. "Kalau bicara tentang sanggup atau enggak, Ummi lebih nggak sanggup, nak. Bayangin kehilangan Rania aja udah bikin semuanya berantakan, kalau nanti hal buruk benar-benar terjadi, dunia Ummi hancur untuk kedua kalinya."
Diana menghindari tatapannya dari Ailani ataupun William, pipinya sudah basah karena air mata. Dia tau betapa berat hidup Ailani setelah kehilangan Reinand, jika nanti semua yang tak mereka harapkan terjadi pada Rania, siapa yang tau Ailani akan segila apa.
"Allah udah atur semuanya dari jauh-jauh hari, kamu harus percaya kalau skenario dari Allah memiliki alur paling indah. Entah itu awal yang menyedihkan atau menyenangkan, akhir yang luar biasa udah Allah siapkan." Ailani menghapus air mata William dengan lembut. Kelembutan yang diberikan Ailani tak kalah jauh dari kelembutan yang didapatnya dari Diana. Walaupun tidak pernah merasakan dekapan ibu kandungnya, William merasa sangat cukup dengan hadirnya Diana dan sekarang juga Ailani sebagai ibunya.
"Mau itu akhir yang bahagia atau menyakitkan, kalau itu kehendak Allah, kamu harus percaya jika itu akan menjadi yang terbaik." Lanjut Ailani dengan sisa tangisnya. William bersusah payah menahan sesak di dadanya, sesak yang beberapa hari ini dia tanggung sendiri, dia sembunyikan, hingga bertumpuk sebesar ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
RANIA
RandomTentang 'Perbedaan' Perbedaan umur yang sangat jauh. Perbedaan fisik yang sangat kentara. Perbedaan perjalanan hidup yang sangat berbeda. Bahkan. Perbedaan kepercayaan pun salah satu dari banyak perbedaan yang ada. "Aku percaya Allah, tapi kamu tida...