Membuat kamu berharga adalah caraku mencintaimu.
•William•Disana berdiri pria bertubuh jangkung, kulit putihnya sangat mencolok karena dipasangkan dengan kemeja navy yang tangannya ia lipat sampai sikut. Tidak ada waktu baginya untuk menyembunyikan pesona sederhananya tapi mampu memikat perempuan.
"Cello?" lirih Uwais bertanya, tidak percaya dengan penglihatannya.
Pria yang tak lain ialah Cello tersebut mengangguk meyakinkan Uwais. Ia berjalan cepat menuju Uwais, memeluk Uwais dengan sangat erat, begitupula dengan Uwais yang juga membalas pelukan Cello tak kalah erat. Afnan masih terdiam, tidak percaya dengan penglihatannya.
"Uncle, apa kabar?" Cello masih memeluk Uwais. Sementara Afnan tersenyum bahagia, mengingat dulu Rania sempat menangis berhari-hari karena kepergian Cello yang tiba-tiba, dan sekarang Cello sudah kembali.
"Alhamdulillah baik, kamu apa kabar? Udah lama di Indonesia?" tanya Uwais perlahan melepas pelukan mereka.
"Alhamdulillah baik, Uncle. Belum ada satu tahun." Cello mengalihkan pandangannya ke Afnan yang masih tersenyum menatapnya.
Sambil tersenyum lebar, Cello beralih dan memeluk Afnan dengan erat. "Adikku udah besar," lirih Cello melepas rindunya, yang ditanggapi Afnan dengan tawa terharunya.
"Mas Ace. Kok nggak kerumah? Ibu sama bapak pasti seneng banget kalau tau mas udah di Indonesia."
"Maaf Nan, aku udah pernah rencana sih, tapi ada aja kendalanya." Cello melepas pelukan mereka, tatapannya tak luput dari wajah tampan Afnan.
"Kamu makin tampan aja," ujar Cello membuat Afnan tertawa canggung, dan mengucap terimakasih atas pujian yang Cello lontarkan.
"Mas juga makin tampan." Balas Afnan yang disambut Cello dengan gelak tawanya. Dehaman Uwais membuat perbincangan mereka terhenti.
"Anan, kamu lupa?" Uwais tertawa kecil saat Afnan menepuk keningnya, mengisyaratkan bahwa ia benar lupa akan satu hal.
"Kamis besok ulangtahun aku, Ibu tadi suruh aku buat undang mas Abi, mas Alvin dan juga keluarga. Sekalian aja mas Ace ya, kita nggak nyangka bakal ketemu mas Ace disini, ya kan mas?" Tanya Afnan mengalihkan tatapannya ke Uwais.
Uwais mengangguk sambil tersenyum. Kemudian menepuk pundak Cello dengan perasaan yang tidak bisa ia jelaskan, tentu sangat senang. Suara isak tangis Rania saat itu kembali terngiang di pendengarannya. Rania yang baru keluar dari rumah sakit mengadu kepada Uwais sambil terisak, memberitahu Uwais tentang Cello yang tiba-tiba pindah tanpa memberitahu Rania dan Alya.
Mereka tenggelam dengan obrolan yang cukup asing bagi Alvin dan Abiandra yang masih setia menyimak percakapan mereka. Sedangkan Fadli hanya diam mematung, ingin pergi tapi kakinya mati rasa untuk melangkah.
Abi berdeham untuk menyadarkan mereka. "Ce, lo kenal Mas Uncle dan Afnan?"
Cello mengangguk cepat. "Kalian juga kenal? Uncle Uwais ini paman sahabat gue, kalau Afnan udah gue anggap adek sendiri." Cello terkekeh sambil merangkul Afnan.
"Mas Uncle juga paman sahabat gue pas SMA." Abi semakin bingung dengan keadaan. Pikirannya berperang, antara yakin atau tidak, bahwa orang yang ia dan Cello maksud ialah orang yang sama, tidak ada bedanya dengan Cello yang juga bingung.
"Iya Abi, Cello ini sahabat Rania dari kecil sampai SMP, dan Ace, Abi sahabat Rania saat SMA." Terang Uwais yang tentu membuat Cello dan Abiandra terkejut.
"Sejak ada mas Abi, kak Rania mulai membuka diri setelah mas Cello pergi, dan juga." Abi berhenti sejenak, ragu akan menyinggung hal sensitif ini.
"Juga Rein yang entah Rania ingat atau nggak." Sambung Uwais membuat Afnan menoleh cepat ke Uwais. "Gitu kan?" Tanya Uwais pada Afnan yang terdiam.
KAMU SEDANG MEMBACA
RANIA
RandomTentang 'Perbedaan' Perbedaan umur yang sangat jauh. Perbedaan fisik yang sangat kentara. Perbedaan perjalanan hidup yang sangat berbeda. Bahkan. Perbedaan kepercayaan pun salah satu dari banyak perbedaan yang ada. "Aku percaya Allah, tapi kamu tida...