➡ Chapture 35

54.3K 6K 93
                                    

Sudah dua minggu ini Aya menyibukkan diri dengan skripsinya. Dirinya hanya ke rumah untuk Hana, terkadang juga Aya menghindari Gara.

Bukan berarti Aya marah karena Gara tidak bisa mencintainya. Itu hak Gara, Aya tidak bisa memaksa. Tapi Aya menghindari Gara karena dia memang belum siap berdekatan kembali dengan dosen pembimbingnya itu.

Dan sudah dua minggu ini Aya kembali menempati kamar kosannya, sedangkan Cilla belum ada niatan untuk pulang kembali ke kosan gadis itu karena dirinya masih merasa prihatin dengan Aya, dan akan menjaga Aya. Apalagi setelah mendengar cerita tentang perjuangan Aya untuk sampai ke Bogor hanya karena ingin mendonorkan darah untuknya.

"Kak Gara beberapa kali nanyain lo, Ya. Katanya dia mau lihat hasil skripsi lo," ujar Cilla yang baru saja masuk ke kamar kos Aya setelah dari rumah Gara untuk diskusi tentang skripsi.

"Biarin. Sekalian nanti aja, biar ketemunya gak sering-sering," sahut Aya yang masih sibuk dengan buku tebal milik Cilla untuk mencari referensi penambahan materi diskripsinya.

Cilla menganggukkan kepalanya dan duduk di samping Aya yang sibuk membaca buku tebal ensiklopedia miliknya, yang dia beli dari perpustakaan di Jakarta.

Cilla melirik Aya. Sahabatnya itu sangat berbeda, tidak seperti dulu. Aya sekarang menjadi orang jarang mandi, jarang sisiran, dan rambutnya pun hanya diikat asal-asalan.

"Udah makan, Ya?" tanya Cilla yang baru teringat dirinya belum melihat Aya makan hari ini.

"Makan ini," jawab Aya sambil mengangkat bungkus roti yang dia temukan di meja.

Cilla mengangguk kemudian berjalan ke arah meja yang ada di depan kasur. "Mandi gih, Ya. Nanti gue bikinan makanan buat lo."

Aya menatap Cilla kemudian menggelengkan kepalanya. "Males, Cil. Dingin," tolak Aya dan kembali membaca buku tebal milik Cilla.

Cilla menghela napasnya. "Mandi, Ya. Entar malam gue mau ngajak lo kencan, buruan."

"Ogah gue kencan sama lo, Cil." Aya masih tidak mau menuruti perkarakan Cilla yang menyuruhnya untuk mandi.

"Mandi, Ya. Atau mau gue mandiin?" ancam Cilla dan menarik tangan Aya membuat sahabatnya itu mendengus sebal dan dengan ogah-ogahan menuruti permintaan Cilla.

"Pokoknya traktir. Gak mau tahu," ujar Aya sebelum masuk kamar mandi dan Cilla hanya berdeham kencang sebagai jawabannya.

Bagi Cilla mentraktir Aya belum bisa membalas kesetiaan Aya sebagai sahabatnya. Aya sahabat sejatinya dan juga penyelamatnya.

Dan benar saja, Cilla memenuhi janjinya membawa Aya ke pasar malam pada malam minggu ini. Mereka berdua berjalan menelusuri sekitar pasar malam dengan senyuman yang tidak bisa hilang dari bibir masing-masing.

"Udah lama banget gak ke sini. Terakhir ke sini waktu diajak Kak Gara ...." Aya terdiam, dia menggelengkan kepalanya. Lagi-lagi dirinya tanpa sadar membuka masa lalunya kembali.

Cilla yang merasakan perubahan sikap Aya menggandeng lengan sahabatnya itu, membuat Aya menoleh dan tersenyum.

Mungkin bisa saja orang-orang berpikir mereka adalah pasangan menyimpang. Karena melihat kedekatan mereka yang bukan seperti seorang sahabat.

"Kita bukan sahabat. Tapi kita saudara," ujar Cilla membuat Aya terkekeh dan mengacak rambut Cilla.

Ketika mereka sedang berkeliling disekitar pasar malam, langkah kaki Aya terhenti membuat Cilla menoleh kemudian mengikuti arah pandang Aya.

Tepat saat itu seorang anak kecil memanggil Aya dengan sebutan Bunda dan menghampiri mereka.

"Bunda."

Hana memeluk kedua kaki Aya membuat Aya segera berjongkok dan tersenyum menatap gadis kecilnya.

"Iya sayang?"

Hana tersenyum dan mencium pipi kanan Aya. "Hana kangen Bunda. Kenapa Bunda jarang main lagi sama Hana?" tanya Hana sedih dan menundukkan kepalanya.

Aya melirik Gara yang berdiri tak jauh dari mereka kemudian dia kembali menatap Hana. "Bunda sibuk sayang. Kalau Hana kangen Bunda, dateng aja ke kamar Bunda ya. Bunda mau mutihin badan makanya gak keluar dari kamar," jelas Aya menyimpang.

Cilla yang mendengar itu berdecak. Ternyata sifat nyeleneh Aya masih melekat di tubuh sahabatnya.

Hana mengangguk. "Oke Bunda. Hana juga mau mutihin badan kalau gitu, gak mau main keluar rumah," ujar gadis kecil itu dengan polosnya membuat Aya tertawa kecil.

"Hana sama Ayah lagi gih. Kasian Ayah gak ada temennya," titah Aya dan Hana mengangguk.

"Hana bakalan selalu jagain Ayah buat Bunda. Cepet sehat ya, Bundanya Hana." sebelum kembali mendekati Gara, Hana mencium kedua pipi Aya membuat gadis itu tersenyum dan berdiri.

Aya mendongak dan tatapan matanya langsung bertabrakan dengan tatapan milik Gara. Laki-laki itu sudah menggengam erat lengan kecil Hana.

"Jagain Hana terus, Kak. Kalau Aya udah banyak uang, Aya bakalan gantian bawa Hana buat tinggal sama Aya," ujar Aya dan tersenyum dipaksakan.

Gadis itu membalikkan badannya berjalan menjauhi Gara yang hanya bisa diam dengan tatapan yang menatap punggung Aya.

Aya mengepal kedua lengannya di samping badannya, kepalanya menunduk mendongak mencegah bulir-bulir air matanya jatuh.

"Yaya."

Aya menghentikan langkahnya, dia tidak berbalik. Cilla menatap Gara yang baru saja memanggil nama sahabatnya.

"Terima kasih sudah jadi Bundanya Hana. Saya harap kamu bahagia dengan laki-laki pilihan kamu dan lebih mencintaimu dibanding saya." Gara mengeratkan genggaman tangannya kepada Hana. "Maaf kalau saya sering nyakitin kamu. Dan maaf saya pernah salah paham sama kamu ... kita sudahi nostalgia kita sampai sini."

Aya yang sedari tadi menahan air matanya menyerah. Air matanya yang terbendung mengalir deras dikedua pipinya.

Cilla menatap Aya dan menggengam tangan sahabatnya. "Kita pulang aja," ujarnya yang tahu jika Aya sedang tidak baik-baik saja.

Aya hanya menurut dan berjalan meninggalkan pasar malam dengan tangan yang masih mengepal.

"Semuanya berakhir, Cil. Di tempat yang sama waktu Kak Gara nembak gue empat tahun yang lalu," ujar Aya pelan sambil menahan tangisnya.

Cilla memeluk Aya dari samping, dia menuntun Aya untuk duduk di bangku yang dia temukan di sekitar taman dekat lokasi pasar malam.

"Apa Kak Gara tahu cerita tentang kecelakaan pesawat itu, Ya?" tanya Cilla menatap Aya yang menundukkan kepalanya.

Aya menggelengkan kepalanya. "Kak Gara tahu. Dia tahunya gue ke Bogor dan gak bilang sama dia."

"Alasan lo sama Kak Gara putus kenapa Ya, kalau gue boleh tahu?" tanya Cilla hati-hati karena tidak ingin menyinggung atau melukai perasaan Aya karena mengingatkan hari terburuk sahabatnya itu.

"Kak Gara kecewa. Karena gue pulang dianter sama Bang Putra. Dia ngiranya, Bang Putra itu selingkuhan gue, Cil. Soalnya waktu Bang Putra nganter gue sampai kos, dengan seenak udelnya Bang Putra nyium pipi gue."

Cilla menghela napasnya. "Emang si kentang goreng itu selalu bikin masalah," ujarnya penuh dendam kepada abangnya sendiri.

"Jangan salahin Bang Putra. Itu tandanya Kak Gara emang gak percaya sama gue, Cil. Apalagi saat dia ngeliat gue yang tanpa sengaja pelukan sama Bang Putra di keesokan harinya. Dia langsung mutusin gue, mungkin dia ngiranya gue ngekhianati dia. Tapi nyatanya, dia abang lo. Yang udah gue anggap abang gue sendiri."

Cilla memeluk Aya dan mengelus punggung sahabatnya dengan lembut. "Maafin Bang Putra, Ya. Karena dia hubungan lo sama Kak Gara berakhir, dan Kak Gara salah paham."

Aya mengangguk dan tersenyum. "Gak papa, Cil. Gue gak marah kok." Cilla tidak menjawab dan masih memeluk punggung Aya dengan erat sambil mengelus punggung sahabatnya.





To Be Continue.

Beri komentarnya buat chapture 35.👉

Terima kasih.

Kos-kosan Mantan [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang