Lisa menunduk dihadapan ayahnya, wajah ayahnya sangat tidak bersahabat kali ini. Sungguh sangat menyeramkan. Dengan keras tuan Manoban membanting dokumen yang baru saja dia berikan pada ayahnya. Sebenarnya dia sudah menyiapkan diri menghadapi ayahnya yang sudah jelas akan sangat murka padanya. Tapi tetap saja menghadapi secara langsung dengan membayangkan juga jauh berbeda.
"Bagaimana bisa kamu kalah dari mereka?! Nama perusahaan kita lebih terkenal dibanding dengan mereka."
"Tapi bukannya ayah juga kemarin kalah telak dari perusahaan ini juga." Lisa hanya bisa memberi jawaban dalam hatinya dengan wajah terus menunduk.
"Apa hebatnya perusahaan itu, perusahaan kecil saja sudah berani melawan kita."
Lisa sedikit mengangkat wajahnya melirik kearah ayahnya yang duduk dengan memainkan kedua tangannya didepan wajahnya seperti berpikir sangat keras. Lagipula kenapa ayahnya ini begitu ngotot ingin merebut proyek kecil seperti ini dari perusahaan yang juga tidak terlalu besar dari mereka. Tapi kenapa juga dia bisa kalah dari mereka, itu juga membuat dirinya merasa sangat kesal.
"Cari tahu mereka akan mengajukan proposal kemana lagi. Aku ingin mereka merasakan malu seperti yang aku rasakan."
"Baik ayah."
Lisa meraih dokumen yang tadi dibanting oleh ayahnya dan segera keluar dari ruang kerja ayahnya menuju ruang kerjanya sendiri. Lisa menyandarkan tubuhnya diatas kursi kebesarannya. Mulai membuka laptopnya dan kembali membaca profile perusahaan yang baru saja membuatnya kena omelan dari ayahnya. Nama perusahaan ini sebelumnya asing baginya, dia tidak pernah mendengar mereka sebelumnya, apa hebatnya mereka.
Lisa bertambah kesal membaca nama Jisoo disalah satu nama pemegang saham disana. Sejak kapan nama gadis miskin ini ada disini. Kemarin tidak ada nama dia saat pertama kali ayahnya menyuruhnya memeriksa data mereka. Lisa melangkah pergi dari kantornya, dia harus menemui seseorang yang akan dia paksa agar membantunya.
Jennie melirik jam tangannya, lima menit dari jam yang mereka sepakati tapi belum ada tanda-tanda dari adik tirinya itu, jangan bilang mereka mencoba membodohinya, jika mereka melakukan itu mereka akan membayarnya, Jennie berusaha tenang tapi melihat mata ibunya yang tajam memandangnya membuat nyalinya menciut dan ketakutan.
Suara pintu diketuk membuatnya bernafas lega, biarpun ini bukan Rosé tapi setidaknya mata ibunya sudah tidak memandangnya lagi dengan wajah sinisnya. Sekertaris pengacara keluarganya mengantarkan Rosé, Jisoo dan dua orang laki-laki yang berjalan dibelakang mereka. Jisoo menutup pintu dan menguncinya dari dalam membuat Rosé keheranan menatap pasangan hidupnya itu tapi lagi-lagi Jisoo hanya membalasnya dengan senyuman bodoh diwajahnya.
"Jennie Kim?!"
"Maafkan Jennie bu. Tapi Jennie hanya ingin semua ini segera selesai bu dan mereka berjanji akan memberi solusi untuk semuanya."
"Jennie!!"
"Bu, biar Rosé yang akan menjelaskannya. Kak Jennie tidak bersalah, Rosé yang memaksa kak Jennie."
Jennie memandang Rosé, untuk apa adiknya ini melindunginya dari ibunya. Tapi sudahlah pikirnya, jika semua berakhir tidak baik, dia masih mempunyai alibi menyelamatkan diri dari amukan ibunya nanti.
"Apa penawaranmu?"
"Sebelumnya saya ingin mengatakan bahwa kami sudah menikah."
Nyonya Kim, Jennie dan pengacara mereka melotot memandang Jisoo yang berjalan mendekat kearah meja pengacara keluarga Rosé meletakkan surat pernikahan mereka. Nyonya Kim menyambarnya tanpa menunggu lama dan menatap tajam kearah Rosé yang berdiri dibelakang Jisoo.
KAMU SEDANG MEMBACA
We are One ( End )
FanfictionNo description, curious ? Baca aja... ;) Bahasa suka - suka.... #Chaesoo #gxg #girlxgirl Homophobia skip ya