WaO 23

1.7K 244 15
                                    

Rosé membaca surat perjanjian yang diberikan oleh ibu tirinya, otaknya berusaha memproses semua tapi sangat sulit untuknya. Apakah ibunya ini memang gila harta, dan semua dia inginkan atas namanya sendiri tidak ada satupun atas nama kakak tirinya. Jisoo tertawa tertahan melihat expresi Rosé karena dia sendiri juga memberikan expresi yang sama saat membacanya.

Jennie meraih surat perjanjian dari tangan Rosé merasa ikut penasaran dengan apa yang ditulis oleh ibunya disana. Mengenal sifat ibunya Jennie sudah tidak merasa aneh lagi. Sikap egosi ibunya tidak akan pernah berubah bahkan dengan ayah kandungnya dulu pun sama seperti ini. Rosé memandang kearah Jisoo berbicara dengan matanya, satu sisi dia ingin hidup damai tapi baru sekarang dia sadari setidaknya dia harus menjaga warisan ayahnya.


"Kamu tidak setuju?"

"Bu, ini sama saja semua kekayaan ayah, ibu minta."

"Pilihannya mau atau tidak?"

"Dengan satu syarat." Semua memandang mata ke arah nyonya Lee yang duduk dengan tenang disudut ruangan bersama suami dan pengacara mereka.

"Apa?"

"Perusahaan pusat dan rumah ayahnya tetap milik Rosé, untuk sisanya silahkan ambil. Bagaimana?"

"Huh, kamu pikir aku bodoh. Bukankah aset itu yang paling besar, mana mungkin aku memilih melepaskannya."

"Menurutku ibu harus melepaskannya."

"Sejak kapan aku menjadi ibumu." Jisoo tersenyum kecut mendengar penolakan dari ibu mertuanya tapi Jisoo berusaha menenangkan dirinya agar tidak terpancing emosi menghadapi ibu mertuanya ini.

"Ya sudah, nyonya Kim. Alasan pertama, perusahaan itu menjadi target utama Manoban, bukankah akan lebih enak kalau anda tidak berurusan dengan mereka apalagi jika mereka tahu anda bermain belakang seperti ini. Alasan kedua, rumah itu adalah warisan yang berisi kenangan untuk Rosé bersama kedua orang tua kandungnya jadi sisakan sedikit hati nurani anda. Lagipula rumah anda sekarang juga jauh lebih besar atau kalau anda mau pasti anda bisa membeli yang lebih besar lagi atau sebuah pulau sekalian."



Rosé memandang curiga kearah Jisoo dan beralih memandang ke arah ibunya yang masih diam berpikir, sepertinya umpan yang Jisoo lemparkan akan membuahkan hasil melihat wajah ibunya yang berpikir keras. Mungkin membawa nama Manoban dalam perjanjian mereka langkah yang benar. Tapi apa benar itu menjadi alasan utama nyonya Lee dan Jisoo meminta satu perusahaan itu agar tetap dengan namanya.



"Kalian tidak sedang mempermainkanku kan?"

"Nyonya Kim, aku rasa anda terlalu pandai untuk kami permainkan."


Jennie mencibir pelan, pujian yang digunakan untuk merebut hati seseorang atau menjilat agar mereka percaya. Jisoo tertawa pelan menyadari jika Jennie mengetahui maksud hatinya. Rosé menyikut perut Jisoo yang langsung berhenti tertawa, memandang kearah lain dan memasang wajah datarnya, apa sekarang istrinya ini cemburu pada kakak tirinya juga.








Jisoo merebahkan dirinya setelah dua jam lamanya akhirnya ibu tiri Rosé menyetujui permintaan mereka. Sekarang tinggal mengurus Manoban yang pasti tidak semudah ibu mereka ini.


"Kalian pasti ada rencana lain kan?"

"Rencana apa? Aku tidak ada rencana mau menikah lagi, satu saja ngga habis-habis belum ditambah galak plus cemburuan."

"Apa kamu bilang!! Tidak suka?! Menyesal?!"

"Engga, kan aku cuma bilang aja."

"Sudah bicara yang serius."

We are One ( End )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang